Rabu, 08 November 2017

Cara Pengujian Uji Sensori Teh


Cara Pengujian Uji Sensori Teh 

A. Pengujian Terbuka
Pengujiaan bertujuan untuk menentukan profil sensoris dari minuman teh. Penentuan profil inderawi mencakup penentuan dan diskripsi secara kualitatif dan kuantitatif. Diskripsi kualitatif yaitu penentuan sifat-sifat inderawi yang terdapat di dalam produk sedangkan diskripsi kuantitatif yaitu besarnya intensitas sifat-sifat yang dimaksud. Dengan diketahuinya profil inderawi suatu produk maka dapat diketahui sifat inderawi yang dominan sehingga dapat dikendalikan selama pengolahan.
Metode pada percobaan dilakukan secara terbuka sehingga selama pengujian dilakukan diskusi antara semua penelis yang dipimpin oleh seorang panelis leader
untuk menyamakan persepsi dan memperoleh kesepakatan tentang atribut sensoris
yang bersangkutan dengan nilainya. Panelis dan koordinator (panel leader) duduk
menghadap satu meja dan bersama-sama menilai sampel satu per satu dipandu oleh coordinator.
Hal pertama yang dilakukan panelis setelah disajikan sampel beserta perlengkapan (tisu, sendok, dan borang) adalah pengisian indentitas pada borang dan dilanjutkan dengan pembacaan instruksi yang tertulis dalam borang, dan keterangan sampel yang tersaji. Selanjutnya dilakukan diskusi untuk menentukan
atribut sensoris yang ada dalam minuman teh. Selama pengujian panelis dibimbing oleh penyelenggara/ koordinator sehingga panelis dapat dengan baik melakukan pengujian ini. Koordinator membantu jalannya diskusi sehingga kesepakatan atribut tekstur yang terdapat pada sampel dapat diperoleh. Pengujian ini bertujuan untuk menyeragamkan persepsi atribut flavor yang ada pada sampel yang digunakan dalam uji tertutup selanjutnya yaitu minuman teh. Pengujian terbuka dilakukan karena pada pengujian kuantitatif memerlukan standar sebagai pembanding intensitas atribut tekstur. Standar bukan sebagai produk tetapi memerlukan daftar nama produk serta urutan intensitas atribut teksturnya. Daftar produk tersebut dibuat dari pengujian terbuka.

Pada pengujian ini disediakan 7 gelas sloki yang berisi minuman teh dan minuman dari ekstrak daun jambu. Sampel tersebut tersebut berkode I, II, III, IV,
V, A, dan B.
Penilaian dimulai dari minuman teh berkode I. Minuman teh berkode I memiliki parameter sensoris sepat dan pahit. Seluruh parameter ini didiskusikan dan disetujui oleh semua panelis. Teh tersebut dikenal sebagai teh hijau. Minuman teh dengan kode II disepakati memiliki parameter sensoris sepat dan pahit. Rasa sepat lebih dominan pada minuman teh tersebut. Teh tersebut diketahui sebagai jenis teh hitam. Minuman teh dengan kode III disepakati memiliki parameter sensoris pahit, sepat, dan wangi vanili. Minuman teh dengan kode IV juga memiliki parameter sensoris sepet, pahit dan wangi melati. Teh tersebut dikenal sebagai teh
wangi. Sampel dengan kode V hanya memiliki parameter sensoris sepat karena minuman/ larutan tersebut bukan minuman teh, namun berupa minuman dengan
ekstrak daun jambu. Estrak daun jambu tidak memiliki rasa pahit seperti yang terdapat pada teh.
Minuman teh dengan kode B memiliki parameter sensoris wangi, manis, dan sepet, demikian pula dengan minuman A. Rasa manis pada minuman A dan B disebabkan karena penambahan gula. Timbulnya aroma pada teh hitam (pada sampel II dan B) langsung atau tak langsung selalu dihubungkan dengan terjadinya oksidasi senyawa polifenol. Penyelidikan yang intensif terhadap aroma telah dilakukan oleh para peneliti Jepang yang menggolongkan aroma dalam 4 kelompok, yaitu: fraksi karboksilat, fraksi fenolat, fraksi karbonil,dan fraksi netral bebas karbonil (sebagian besar terdiri atas alkohol) (Kustamiyati, 1994). Selain itu penyelidikan lain berusaha mencari asal aroma tersebut dalam daun teh segar. Pendapat tertua mengatakan aroma berasal dari glikosida yang mengurai menjadi gula sederhana dan senyawa beraroma. Yang lain menyebutkan bahwa timbulnya aroma adalah akibat penguraian protein, adanya minyak essensial yang mudah menguap yang selama pengolahan akan membentuk substansi aromatis baru yang lain. Pendapat yang lain mengatakan bahwa aroma berasal dari oksidasi karotenoid yang menghasilkan senyawa mudah menguap
(aldehid dan keton tidak jenuh) (Kustamiyati, 1994).
Menurut Harler (1963), zat padat terlarut total merupakan jumlah semua zat padat dalam pelarut (air). Selama diekstraksi kandungan bahan-bahan yang dapat larut dalam air teh hijau menggambarkan kepekatan dan rasa dari seduhan teh hijau. Terbentuknya warna, rasa, dan kepekatan tergantung dari besarnya kandungan dan sifat bahan yang larut dalam teh hijau, ukuran partikel, suhu, serta air yang digunakan. Menurut Harler (1963), penyusun utama zat padat terlarut adalah senyawasenyawa tanin dan kafein. Dalam daun muda kandungan senyawa ini besar sedangkan pada pucuk yang tua yang merupakan bahan dasar teh hijau kandungannya akan menurun. Pada hasil teh kering pada teh hitam kandungan tanin yang larut rendah karena selama fermentasi terjadi perubahan menjadi theaflavin dan thearubigin. Pembuatan teh hijau tidak melewati tahap fermentasi sehingga selama pengolahan tanin tidak banyak mengalami perubahan sehingga kandungan taninnya relatif lebih tinggi. Hal ini menyebabkan teh hijau lebih pahit dan sepet dibandingkan dengan teh hitam. Teh hijau ini terdapat pada sampel berkode I.

Senyawa tanin akan menyebabkan rasa teh menjadi sepet dan kafein akan menyebabkan teh menjadi memiliki rasa pahit baik pada teh hitam mau pun teh hijau. Kafein akan bereaksi dengan katekin atau hasil oksidasinya membentuk senyawa yang menentukan brightness dari seduhan teh. Substansi kimia yang paling banyak terdapat dalam teh yaitu fenol. Fenol tersebut terdiri dari tanin/catechin dan flavonol.
1. Tanin/catechin
Senyawa ini merupakan senyawa yang paling penting pada daun teh. Nama tanin telah dipakai sejak bertahun-tahun yang lalu sebab diketahui merupakan turunan dari asam galat. Kebanyakan turunan galat disebut tanin karena bersifat dapat menyamak kulit. Oleh karena tanin di dalam teh tidak mempunyai sifat tersebut, maka pada saat sekarang nama tanin lebih tepat apabila diganti dengan catechin, yang merupakan senyawa yang sangat komplek. Jumlah total bahan ini bukan merupakan ukuran kualitas teh, melainkan hanya beberapa fraksi saja. Catechin tersusun sebagian besar atas senyawa-senyawa sebagai berikut: Catechin, Epicatechin, Epicatechin galat, Epigalo catechin, Epigalo catechin galat, Galo catechin. Kandungan catechin berkisar 20-30% dari seluruh berat kering daun. Diantara keenam catechin tersebut epigalo catechin dan galat merupakan bahan terbanyak.

2. Flavanol
Rumus kimia flavanol hampir serupa dengan catechin tetapi berbeda pada tingkatan oksidasi dari inti difenilpropan primernya. Flavanol dalam teh kurang disebut sebagai penentu dalam kualitas, tetapi diketahui mempunyai aktivitas sebagai vitamin P. Vitamin ini menguatkan dinding pembuluh darah kapiler dan memacu pengumpulan vitamin C dalam organ binatang. Flavanol pada teh meliputi kaemferol, quercetin, dan miricetin (Kustamiyati, 1994). Timbulnya aroma pada teh hitam langsung atau tak langsung selalu dihubungkan dengan terjadinya oksidasi senyawa polifenol. Pendapat tertua mengatakan aroma berasal dari glikosida yang mengurai
menjadi gula sederhana dan senyawa beraroma. Yang lain menyebutkan bahwa timbulnya aroma adalah akibat penguraian protein, adanya minyak essensial yang mudah menguap yang selama pengolahan akan membentuk substansi aromatis baru yang lain. Pendapat yang lain mengatakan bahwa aroma berasal dari oksidasi karotenoid yang menghasilkan senyawa mudah menguap (aldehid dan keton tidak
jenuh) (Kustamiyati, 1994).

B. Pengujian Tertutup

Pengujian dilakukan secara tertutup yang berarti pengujian sampel dilakukan terpisah antara panelis satu dengan yang lain dalam booth yang tersedia. Hal ini bertujuan agar panelis tidak mendiskusikan hasil penilaiannya satu sama lain apa pun hasilnya. Bila hal ini terjadi maka kemungkinan terjadi eror (penyimpanan yang terjadi selama pengujian) yang disebut expectation error. Pengujian ini digunakan metode scoring terstruktur yaitu panelis diminta untuk menilai penampilan sampel berdasarkan intensitas atribut atau sifat yang dinilai berdasarkan skala sampel yang disediakan. Panelis harus paham benar akan sifat sensoris yang diperkenalkan pada pengujian terbuka yang telah dilakukan dengan panel leader. Panelis yang digunakan dalam pengujian ini adalah panelis terlatih karena diperlukan memori yang kuat. Semua panelis dalam pengujian ini diasumsikan sebagai panelis terlatih.

Hal pertama yang dilakukan panelis setelah disajikan sampel beserta perlengkapan (tisu, sendok, dan borang) adalah pengisian indentitas pada borang dan dilanjutkan dengan pembacaan instruksi yang tertulis dalam borang, keterangan sampel yang tersaji, dan cara penilaian yaitu calon panelis diminta untuk memberikan nilai intensitas dengan memberikan tanda silang pada skala. Nilai 1 untuk intensitas terrendah dan nilai 7 menunjukkan intensitas tertinggi. Dalam pengujian ini panelis harus memahami cara penilaian/ pengujian yang sedang dilakukan. Bila panelis mengalami kesulitan untuk memahami pengujian maka panelis berhak bertanya kepada preparator. Panelis yang tidak membaca borang kemungkinan akan melakukan pengujian dan penilaian sampel dengan cara yang salah sehingga hasil yang diperoleh tidak memiliki presisi yang tinggi. Selanjutnya, panelis melakukan pengecekan terhadap jumlah sampel dan pencatatan kode pada borang dan dilanjutkan dengan pengujian. Pengujian terhadap sampel (minuman teh) dilakukan dengan menilai flavor dari sampel tersebut.
Rasa dari teh dapat dinilai dengan menggunakan indera pencecap. Umumnya bahan pangan tidak hanya terdiri dari salah satu rasa tetapi merupakan gabungan berbagai macam rasa secara terpadu sehingga menimbulkan rasa yang utuh. Kecuali itu rasa suatu bahan pangan merupakan hasil kerjasama inderaindera yang lain (Bambang K.et.al., 1988). Dalam mengindera rasa larutan sampel, panelis diharuskan untuk merasakan dengan menggunakan indera pencecap, yaitu lidah. Untuk dapat merasakan secara optimal, larutan dapat diratakan pada seluruh permukaan lidah. Pada permukaan lidah terdapat sel-sel papilla yang didalamnya terdapat kuncup-kuncup (bud) yang jika terangsang akan meneruskan rangsangan tersebut ke otak sehingga timbul kesan rasa (Bambang K.et.al., 1988).

Mekanisme terciptanya suatu kesan rasa dimulai dari zat makanan yang dilarutkan dalam mulut oleh air liur kemudian larutan tersebut masuk dalam kuncup pencecap. Di dalam kuncup pencecap terletak dalam suatu celah yang disebut pore, tempat terkumpulnya cairan air liur (saliva). Setiap sel cecapan yang disebut dengan sel gustatory, berbentuk lonjong dengan ujungnya berupa rambut-rambut microvillus yang mencuat ke ruang pore. Agar suatu senyawa dikenal rasanya, senyawa tersebut harus dapat larut dalam air liur sehingga dapat mengadakan hubungan dengan microvillus dan impuls (stimulus) yang terbentuk dikirim melalui syaraf ke pusat susunan syaraf dan timbullah kesan rasa (Winarno, 1992).

Perbedaan persepsi antar panelis dalam hal nilai dan sifat-sifat sensoris sampel kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Kekurangpekaan panelis sehingga deskripsi mengenai sifat sensoris yang dinilai kurang tepat.
2. Kesalahan dalam melakukan pengujian
3. Kondisi kesehatan
Panelis yang sedang tidak sehat, terutama yang sedang mengalamin gangguan pada indera pencecap atau perasa, misal flu, mempunyai sensitivitas yang rendah terhadap rasa.
4. Pengetahuan panelis
Semakin banyak pengetahuan panelis tentang sifat-sifat sensoris dari suatu bahan semakin mudah panelis tersebut dalam mendeskripsikan sifat-sifat sensoris sampel. (Bambang, dkk., 1988)
Profil sensoris dapat dipakai untuk mengetahui sifat dominan yang mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap suatu produk. Dengan mengetahui sifat dominan inilah kita dapat mengendalikan proses pengolahan dan menggunakan sifat ini sebagai tolok ukur dalam membandingkan produk-produk sejenis di pasaran. Penentuan profil sensoris dapat diaplikasikan pada industri. Industri yang memproduksi bahan pangan harus memperhatikan hasil pengolahannya sehingga dapat diterima oleh konsumen. Produk yang dihasilkan tersebut harus disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan konsumen. Kesesuaian ini menyangkut sifatsifat bahan yang merupakan karakteristik dari produk tesebut. Selain itu, pada suatu industri, profil sensoris dapat digunakan dalam pengendalian kualitas. Pengendalian dilakukan pada sifat yang paling mudah mengalami perubahan profil sensoris. Misalnya pada industri sterilisasi susu. Yang perlu dikendalikan adalah rasa “matang” yang terbentuk karena adanya reaksi Maillard antara laktosa dengan asam-asam amino yang terdapat dalam susu tersebut. Selain itu, dapat pula digunakan untuk product development. Untuk itu, perlu diperhatikan parameter yang berbeda pada kedua produk, dan parameter itulah yang akan dijadikan keunggulan masing-masing produk. Untuk aplikasi profil sensoris pada industri ini, perlu dipertimbangkan kepentingan sifat-sifat yang perlu diuji, dan pengujian dilakukan tidak sembarangan, untuk menghindari pemborosan waktu, tenaga dan biaya. Setelah dilakukan analisis varian maka dapat dibuat diagram sarang labalaba. Keunggulan diagram ini dibanding diagram yang lain adalah diagram ini bisa menampilkan berbagai atribut sensoris pada beberapa sampel sehingga perbedaan antara sampel lebih mudah diamati dan dibandingkan. Diagram sarang laba-laba juga memudahkan penilaian produk dari beberapa atribut sensoris yang dimiliki produk tersebut. Diagram sarang laba-laba berupa titik-titik pada masing-masing atribut sensoris yang dihubungkan. Titik-titik tersebut menunjukkan nilai atribut sensoris dari suatu produk. Semakin jauh titik tersebut terhadap pusat maka nilainya semakin besar. Dalam satu atribut sensoris misalnya kekerasan, semakin jauh jarak antar dua titik maka kedua produk tersebut berbeda nyata. Titik-titik pada sarang laba-laba pada pangujian ini menunjukkan nilai rata-rata teh wangi dan teh hitam dengan atribut sensoris sepat, pahit,wangi, dan manis.

IV. KESIMPULAN
1. Untuk mengorganisir penentuan profil sensoris perlu memperhatikan kesamaan persepsi antarpanelis, kesamaan cara penilaian, dan kesepakatan parameter-parameter yang diuji.

DAFTAR PUSTAKA

Kartika, Bambang, dkk., 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. PAU
Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta.
Winarno, F.G., 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Utama, Jakarta.
Harler, C.R., 1963. Tea Manufacture. Oxford University Pres.
Kustamiyati, 1994. Petunjuk Teknis Pengolahan Teh. Balai Penelitian Teh dan
Kina, Gambung, Bandung.
Theodore, R, 1972. Traditional Methods of Vanilla Preparation and Their
Improvement. The Quarterly Journal of the Tropical Product Institute,
Volume 15, page 47-55.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar