KAJIAN DAYA
HAMBAT EKSTRAK KULIT DAN JANTUNG PISANG MULI (Musa acuminata) SEBAGAI ANTIMIKROBA ALAMI DALAM MENURUNKAN CEMARAN Echerichia coli PADA DAGING AYAM (Gallus domesticus)
(Skripsi)
Oleh
SUCI NATA KUSUMA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daging ayam merupakan salah satu bahan pangan yang
memegang peranan penting sebagai sumber protein hewani dalam pemenuhan
kebutuhan gizi masyarakat. Permintaan
daging ayam berkembang pesat seiring tingginya tingkat konsumsi daging ayam
oleh masyarakat. Hal ini didukung dengan data produksi
daging ayam tahun 2015 sebesar 2,04 juta ton atau meningkat 5,11% dibandingkan
tahun 2014, dan rata-rata konsumsi per kapita daging ayam masyarakat Indonesia
tahun 2011-2015 sebesar 4,28 kg/kapita/tahun (Nuryati et al., 2015). Adanya peningkatan permintaan daging ayam berdampak
pada kasus penyebaran penyakit yang berasal dari pangan asal hewan ke manusia
atau foodborne disease (Dewantoro,
2011).
Daging ayam merupakan media yang baik untuk
perkembangan bakteri. Bakteri dikatakan bersifat patogen jika bakteri dapat
menimbulkan berbagai penyakit dan menyebabkan daging cepat busuk (Lukman et
al., 2009). Beberapa mikroba penyebab penyakit yang berasal dari daging
ayam (foodborne disease), antara lain: Escherichia coli, Salmonella,
Staphylococcus aureus, Camphylobacter sp., dan Clostridium
botulinum (Dewantoro, 2011). Menurut
Djaafar dan Rahayu (2007), Escherichia coli merupakan kelompok mikroba
pembusuk yang dapat mengubah makanan segar menjadi busuk bahkan dapat
menghasilkan toksin. Bakteri Escherichia coli patogen dapat menghasilkan
enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare (Jawetz et al., 1995).
Mutu
daging ayam dapat diuji dari segi biologi untuk melihat tingkat cemaran bakteri
Echerichia coli karena bakteri
E. coli digunakan sebagai indikator
sanitasi suatu produk olahan yang berasal dari daging maupun minuman (Sasmita et al., 2014). Berdasarkan SNI 392 4.1:2009 tentang mutu daging ayam, batas
cemaran E.coli untuk pangan adalah 1 x 101 koloni/gram. Hasil
penelitian Marliena (2016) menunjukkan bahwa
cemaran E.coli pada daging
ayam di pasar tradisional dan pasar modern di Kota Bandar Lampung tidak
memenuhi SNI karena diatas batas cemaran E.coli
pada pangan yaitu 1 x 102 koloni/gram.
Menurut Jay et al. (2005), banyaknya kejadian
kontaminasi bakteri E.coli pada
daging ayam terjadi pada saat pemotongan, pengepakan, pendistribusian dan
pengolahan produk asal hewan. Kontaminasi juga dapat terjadi akibat sanitasi
yang kurang baik di peternakan, tempat pemotongan maupun tempat pengolahan
daging ayam (Dewantoro, 2011). Bakteri E.coli
yang mengontaminasi daging ayam perlu dicegah guna menurunkan jumlah cemaran
bakteri patogen.
Untuk menekan
pertumbuhan bakteri, daging ayam umumnya disimpan dengan cara pendinginan,
pembekuan, proses termal (pemanasan), dehidrasi (pengeringan), atau dengan
pengawetan menggunakan bahan-bahan pengawet seperti garam, gula, asam, dan
berbagai pengawet sintetis atau pengawet kimia (Usmiati, 2010). Kecurangan oleh
pedagang dipasaran yang sering terjadi adalah penggunaan bahan pengawet
berbahaya seperti formalin dan boraks yang cenderung toksik. Bahan pengawet
sintetis maupun bahan kimia yang cenderung toksik tidak direkomendasikan oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena diduga dapat menimbulkan penyakit
kanker (carcinogen agent)
(Windiyartono et al., 2016). Oleh karena itu bahan pengawet alami
lebih disarankan. Bahan-bahan pengawet alami termasuk di antaranya berasal dari
tumbuh-tumbuhan.
Tanaman pisang merupakan
salah satu jenis tanaman yang diketahui dapat digunakan sebagai antibakteri
karena mampu menghambat aktivitas mikroba. Saraswati (2015) melaporkan bahwa
tanaman pisang memiliki banyak kandungan senyawa aktif (metabolit sekunder)
yang berperan sebagai senyawa antimikroba diantaranya saponin, tanin, alkaloid,
flavonoid, dan fenol. Hasil penelitian Chandra et al., (2010) menunjukkan bahwa bagian kulit buah pisang ambon (Musa sapientum) yang diekstrak dengan
kloroform dan etil asetat terbukti memiliki aktivitas antimikroba terhadap
bakteri Sthapylococus aureus, Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Salmonella
enteritidis, dan Escherechia coli.
Kemudian hasil penelitian Ningsih et al.,
(2013) menunjukkan bahwa ekstrak jantung pisang kepok kuning (Musa paradisiaca Linn.) mampu bekerja
sebagai antibakteri terhadap S. aureus dan
E. coli. Informasi penggunaan bagian
kulit buah dan jantung pisang muli (Musa
acuminata) sebagai antimikroba masih sangat jarang ditemukan. Oleh sebab
itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui pemanfaatan bagian kulit pisang dan
jantung pisang muli sebagai antimikroba guna menurunkan cemaran E.coli yang mengontaminasi daging ayam.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui
adanya daya hambat ekstrak kulit dan jantung pisang muli sebagai antimikroba
alami dalam menurunkan cemaran Echerichia
coli.
2. Menentukan
konsentrasi terbaik ekstrak kulit dan jantung pisang muli sebagai antimikroba
alami untuk menurunkan cemaran Echerichia
coli.
3. Mengetahui
pengaruh penggunaan ekstrak kulit dan jantung pisang muli sebagai antimikroba
alami dalam penurunan cemaran Echerichia
coli pada daging ayam.
1.3
Kerangka
Pemikiran
Bakteri Escherichia
coli yang mencemari daging ayam umumnya berasal dari
ruangan, peralatan maupun meja tempat pemotongan ayam, serta air yang digunakan
selama proses pemotongan hingga pengolahan daging ayam. Pertumbuhan mikroba
pada produk pangan dapat terjadi dalam waktu singkat dan pada kondisi yang
sesuai, seperti tersedianya nutrisi, pH, suhu, dan kadar air bahan pangan.
Bakteri E. coli dapat tumbuh dengan baik di dalam lemak dan protein yang
merupakan sumber nutrisi bagi mikroba. Daging ayam memiliki kandungan lemak dan
protein yang tinggi, sehingga daging ayam dapat menjadi media pertumbuhan yang
baik untuk E. coli (Rahardjo dan Santosa, 2005). Cemaran bakteri Escherichia
coli pada daging ayam perlu diturunkan yaitu salah satunya dengan
penggunaan antimikroba alami.
Penelitian-penelitian
mengenai tanaman pisang menunjukkan bahwa beberapa bagian tanaman pisang
memiliki banyak kandungan senyawa aktif (metabolit sekunder) yang berperan
sebagai senyawa antimikroba. Pada organ jantung pisang mengandung alkaloid,
saponin, tanin, flavonoid dan total fenol (Mahmood et al., 2011). Kulit
buah pisang memiliki kandungan non-nutrisi, termasuk polifenol, flavonoid (Lee et al., 2010). Adanya zat antibakteri
yang terkandung akan menghalangi pengangkutan atau terbentuknya masing-masing
komponen ke dinding sel yang dapat berakibat melemahnya struktur yang disertai
dengan dinding sel yang menghilang dan isi sel yang terlepas sehingga akan
menghambat pertumbuhan atau mematikan sel bakteri tersebut. Senyawa saponin
akan membentuk senyawa kompleks dengan membran sel melalui ikatan hidrogen,
sehingga sifat permeabilitas dinding sel dapat dihancurkan dan menimbulkan
kematian sel (Priosoeryanto, 2006).
Kulit
buah pisang memiliki kadar senyawa fenolik yang jauh lebih tinggi daripada yang
terkandung pada daging buahnya (Humairani, 2007). Polifenol merupakan sumber
potensial antioksidan dan antimikroba terhadap sejumlah besar bakteri patogen
(Karou et al., 2005). Penelitian yang
dilakukan Karadi et al., (2011)
menunjukkan bahwa kulit buah pisang memiliki aktivitas antibakteri terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus
subtilis, dan Pseudomonas aeruginosa
pada uji zona hambat dengan metode disk
diffusion. Menurut Okorondu et al.
(2010), diketahui bahwa aktivitas antibakteri kulit pisang kepok (Musa paradisiaca) menunjukkan pada uji
zona hambat (zone of inhibition test)
ekstrak kulit pisang dapat menghambat beberapa bakteri pathogen, seperti Escherichia coli, Pseudomnas aeruginosa, Staphylococcus
aureus dan Salmonella typhi.
Aktivitas antibakteri paling tinggi didapatkan dari ekstrak metanol, kemudian
diikuti ekstrak etanol dan kloroform, namun ekstrak air tidak menunjukkan
hambatan pada organisme yang diuji (Okorondu et al., 2010). Ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok (Musa balbisiana) memiliki sensitifitas
yang tinggi terhadap bakteri Propionibacterium
acne, dengan menghasilkan diameter zona hambat sebesar 8,4 mm pada konsentrasi
25.000 ppm (Saraswati, 2015).
Menurut
penelitian Ningsih et al. (2013),
ekstrak jantung pisang kepok kuning (Musa
paradisiaca Linn.) mampu bekerja sebagai antibakteri terhadap S. aureus dan E. coli dengan rata-rata diameter zona hambat masing-masing 7,9 mm
dan 11,4 mm. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sumathy et al., (2011) menunjukkan bahwa jantung pisang memiliki potensi
sebagai antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus dan E.coli
dengan diameter zona hambat berturut-turut sebesar 22 mm dan 12 mm pada
konsentrasi 100 mg/ml. Berdasarkan penelitian Babu et al., (2012) diketahui bahwa kandungan senyawa antimikroba
seperti fenol, polifenol dan alkaloid yang terdapat pada beberapa varietas
tanaman pisang ternyata tidak jauh berbeda. Penghambatan yang ditunjukkan oleh
kulit pisang dan pisang kepok kuning (Musa
paradisiacal) terhadap beberapa bakteri patogen salah satunya E.coli membuat adanya dugaan bahwa kulit
pisang dan jantung pisang muli (Musa
acuminata) dapat digunakan untuk menghambat cemaran bakteri E.coli. Berdasarkan kerangka diatas,
akan dilakukan penelitian penghambatan mikroba menggunakan antimikroba alami
dari kulit buah dan jantung pisang muli (Musa
acuminata) dengan konsnetrasi yang berbeda.
1.4 Hipotesis
Hipotesis
yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Esktrak
kulit dan jantung pisang muli memiliki daya hambat sebagai antimikroba alami
dalam menurunkan cemaran Escherichia coli.
2. Terdapat
konsentrasi terbaik ekstrak kulit dan jantung pisang muli sebagai antimikroba
alami untuk menurunkan cemaran Escherichia
coli.
3. Esktrak
kulit dan jantung pisang muli sebagai antimikroba alami berpengaruh terhadap
penurunan cemaran Escherichia coli
pada daging ayam.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daging Ayam
2.1.1
Karakteristik
Daging Ayam
Ayam (Gallus domesticus) memiliki beberapa
klasifikasi, diantaranya adalah ayam ras (ayam negeri), ayam kampung dan ayam
hutan. Ayam kampung menghasilkan daging yang lebih enak daripada ayam negeri.
Hal ini karena kemampuan genetis yang membedakan antara kedua jenis ayam ini
(Rashaf, 2000). Kedudukan ayam dalam sistematika (taksonomi) hewan dapat
dikelompokkan sebagai berikut (Suprijatna et al., 2005) :
Filum
: Chordata
Sub
filum : Vertebrata
Kelas : Aves
Sub
kelas : Neornithes
Ordo : Galliformes
Genus
: Gallus
Spesies
: Gallus domesticus
Daging secara umum didefinisikan sebagai
semua jaringan hewan yang dikonsumsi namun tidak menimbulkan gangguan kesehatan
bagi yang mengkonsumsinya (Soeparno, 1994). Daging ayam adalah produk dari
peternakan unggas yang sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan pangan.
Permintaan konsumen terhadap daging ayam dan juga produk olahan semakin tinggi
karena harganya yang terjangkau, kandungan lemak yang rendah, serta tidak
membutuhkan waktu yang panjang untuk pengolahannya. Menurut BSN (2009) dalam
SNI 3924:2009, daging ayam adalah otot skeletal dari karkas ayam yang aman,
layak, dan lazim dikonsumsi manusia. Karkas ayam adalah bobot tubuh ayam
setelah dipotong dikurangi kepala, kaki, darah, bulu serta organ dalam.
Persentase bagian yang dipisahkan sebelum menjadi karkas adalah hati dan
jantung 1.50%, tembolok 1.50%, paru-paru 0.90%, usus 8%, leher atau kepala
5.60%, darah 3.50%, kaki 3.90%, bulu 6%, karkas 60.10%, serta air 9%. Bobot
karkas yang telah dipisahkan dari bulu, kaki, leher atau kepala, organ dalam,
ekor (kelenjar minyak), yaitu sekitar 75% dari bobot hidup ayam (Abubakar, 2003).
Kualifikasi karkas ayam didasarkan atas
tingkat keempukan dagingnya. Ayam berdaging empuk, yaitu ayam yang daging
karkasnya lunak, lentur, dan kulitnya bertekstur halus. Ayam dengan keempukan
daging keras umumnya mempunyai umur yang relatif tua dan kulitnya kasar. Kelas
ini meliputi stag, ayam jantan berumur kurang dari 10 bulan (Soeparno,
1994). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3924-2009 tentang Mutu Karkas
dan Daging Ayam, kualitas karkas yang baik (mutu I) adalah yang konformasinya
sempurna, perdagingan tebal, perlemakan banyak, keutuhan cukup baik dan
sempurna, serta bebas dari memar dan bulu jarum. Karkas dibedakan menjadi tiga,
yaitu karkas segar, karkas segar dingin, dan karkas beku. Karkas segar adalah
karkas yang diperoleh tidak lebih dari 4 jam setelah proses pemotongan dan
tidak mengalami perlakuan lebih lanjut. Karkas segar dingin adalah karkas segar
yang didinginkan setelah proses pemotongan sehingga temperatur bagian dalam
daging (internal temperature) antara 0 °C dan 4 °C. Karkas beku adalah
karkas segar yang telah mengalami proses pembekuan di dalam blast freezer dengan
temperatur bagian dalam daging minimum -12 °C.
Daging ayam merupakan bahan makanan yang
mengandung gizi tinggi, memiliki rasa dan aroma yang enak, tekstur yang lunak,
serta harga yang relative murah. Berdasarkan alasan tersebut, daging ayam lebih
banyak diminati oleh masyarakat jika dibandingkan dengan daging sapi. Struktur
daging ayam sama halnya seperti daging hewan lainnya, sangat kompleks dan
sangat luas. Lemak pada daging ayam banyak ditemukan di bawah kulit. Kandungan
asam lemak tidak jenuhnya juga lebih besar daripada daging hewan lainnya.
Komposisi daging ayam memiliki protein yang sangat tinggi khususnya bagian dada
yaitu 23.3%, kandungan air 74.4%, lemak 1.2%, dan abu sebesar 1.1%. Nilai pH
juga berpengaruh pada kualitas daging ayam, yaitu terhadap warna, keempukan,
dan daya ikat air. Nilai pH daging ayam setelah 24 jam (pasca mati) adalah
5.5-5.9 (Lukman et al., 2009).
Daging ayam tidak boleh berada dalam suhu ruang
(25°) lebih dari 3 jam karena daging ayam mengandung kadar air dan protein yang
sangat tinggi sehingga dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
Daging yang segar dapat disimpan dalam kulkas. Menurut Departemen Kesehatan RI
(1996), ayam segar yang biasa digunakan untuk pengolahan terdiri dari tiga,
yaitu:
- ayam segar biasa
(segera dimasak, hanya tahan 4 - 6 jam setelah dipotong)
- ayam segar
dingin (tahan 24 jam, dimasukkan dalam lemari es)
- ayam segar beku
(tahan untuk beberapa hari jika disimpan dalam kondisi yang tepat, 24°C dibawah
nol.
Daging ayam yang akan dikonsumsi haruslah memiliki
kondisi yang baik. Ciri-ciri daging ayam segar untuk dikonsumsi manusia antara
lain :
1.
Daging ayam yang segar baunya khas aroma
daging ayam, tidak anyir, amis dan tidak bau bangkai sedangkan daging ayam yang
tidak segar baunya anyir. Daging ayam yang diberi bahan kimia pengawet
berbahaya biasanya tidak ada baunya (tidak ada bau khas daging ayam segar).
2.
Daging ayam yang segar memiliki
penampilan warna kulit putih mengkilat tanpa memar dan bersih dari bulu jarum
dan bulu halus. Ayam yang tidak segar terlihat pada kulitnya ada bercak-bercak
merah yang lama-lama bisa berubah jadi kebiruan serta ada bekas bulu-bulu jarum
dan halus yang tersisa di kulit ayam.
3.
Daging ayam segar pada bagian kepala dan
leher tidak terlihat pembuluh darah di tubuhnya, tidak mengeluarkan darah lagi
dan bekas sembelih di leher besar, tidak rata potongannya dan terlihat pucat.
Sedangkan ayam yang kurang segar terlihat mengeluarkan darah dari bagian kepala
atau leher, bekas potongan sembelih bentuknya kecil dan rata, serta terlihat
darah di pembuluh darah leher ayam.
4.
Secara umum ayam yang masih segar
terlihat bersih dari kotoran dan secara fisik terlihat sempurna tidak cacat
bentuk tubuh ayamnya. Sedangkan ayam yang tidak segar terlihat serabut otot
yang kemerah-merahan, biru atau hitam. Selain itu warna bagian dalam karkas
atau daging ayam berwarna merah serta otot pada dada dan paha ayam terasa lembek
jika ditekan dengan jari.
2.1.2
Aspek Mikrobiologis Daging Ayam
Peran mikroorganisme dalam pangan dapat bersifat menguntungkan
maupun merugikan. Mikroorganisme yang menguntungkan berperan sebagai mikroorganisme
fermentatif pada makanan. Mikroorganisme yang merugikan berperan sebagai
penyebab penyakit melalui pangan ke manusia atau yang disebut foodborne
disease. Mikroorganisme yang mengkontaminasi bahan pangan dapat menyebabkan
kerusakan bahan pangan tersebut. Kerusakan daging ayam secara biologis banyak diakibatkan
oleh adanya pertumbuhan mikroorganisme yang berasal dari ternak, pencemaran
dari lingkungan baik pada saat proses pemotongan, penyimpanan, maupun
pemasaran. Pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme dipengaruhi oleh faktor
suhu penyimpanan, waktu, tersedianya oksigen, dan kadar air pada daging (Rahardjo
dan Santoso, 2005).
Kualitas daging ayam dipengaruhi oleh beberapa
faktor, baik pada waktu hewan masih hidup maupun setelah dipotong. Pada waktu
hewan hidup faktor penentu kualitas daging adalah cara pemeliharaan, meliputi
pemberian pakan, tata laksana pemeliharaan, dan perawatan kesehatan, sedangkan
setelah hewan dipotong kualitas daging dipengaruhi oleh perdarahan pada waktu
hewan dipotong dan kontaminasi mikroba (Murtidjo, 2003). Daging ayam harus
memenuhi kualitas mikrobiologis yang telah ditetapkan oleh SNI 7388 (2009)
dengan ambang batas cemaran total mikroba maksimal 106 CFU/g.
Kontaminasi awal bakteri pada daging ayam
diakibatkan dari mikroorganisme yang masuk ke pembuluh darah bila pisau yang
digunakan untuk penyembelihan tidak steril. Kontaminasi pada permukaan daging
ayam dapat terjadi selama penyembelihan, pemrosesan, penyimpanan, dan
distribusi atau pengangkutan daging. Menurut Jay et al. (2005), banyaknya kejadian kontaminasi
bakteri pada daging ayam terjadi pada saat pemotongan, pengepakan, pendistribusian
dan pengolahan produk asal hewan. Kontaminasi juga dapat terjadi akibat
sanitasi yang kurang baik di peternakan, tempat pemotongan maupun tempat
pengolahan daging ayam. Pemakaian air dari sanitasi yang kurang baik dalam
proses pemotongan, pengolahan, dan penyimpanan dapat meningkatkan jumlah cemaran
mikroba di dalam daging ayam.
Pada umumnya sanitasi
yang terdapat di rumah-rumah potong belum memenuhi persyaratan kesehatan daging
sesuai standar yang telah ditetapkan. Keadaan ini menyebabkan mikroorganisme
awal pada daging sudah tinggi. Selain itu penyimpanan daging di rumah potong
dan di pasar-pasar umumnya belum menggunakan alat pendingin, di mana daging
hanya dibiarkan terbuka tanpa dikemas dalam temperatur kamar. Kondisi yang
demikian dapat menyebabkan perkembangbiakan mikroorganisme semakin meningkat
yang mengakibatkan kerusakan atau pembusukan daging dalam waktu singkat
(Susanto, 2014).
Mikroba penyebab pembusukan daging
unggas yang disimpan pada lemari es untuk karkas unggas antara lain: Pseudomonas fluorescens,
Pseudomonas putida, Acinetobacter, dan
Moraxella (Lukman, 2010). Mikroba patogen yang
biasanya mencemari daging antara lain: E. Coli, Salmonella sp. dan Stahpylococcus
sp. yang merupakan kontaminan utama pada daging sapi dan unggas segar (Usmiati,
2010). Persyaratan mutu batas maksimum cemaran
mikroba pada daging ayam menurut SNI 01-7388-2009 disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Spesifikasi persyaratan mutu batas maksimum
cemaran mikroba pada
daging ayam
Jenis
Cemaran Mikroba
|
Batas
Maksimum Cemaran Mikroba (cfu/g)
|
|
Daging
Ayam Segar/ Beku
|
Daging
Ayam Tanpa Tulang
|
|
a.
Jumlah total kuman (Total Plate Count)
|
1x106
|
1x106
|
b.
Coliform
|
1x102
|
1x102
|
c.
Echerichia
coli
|
1x101
|
1x101
|
d.
Enterococci
|
1x102
|
1x102
|
e.
Staphylococcus
aureus
|
1x102
|
1x102
|
f.
Clostridium
sp.
|
0
|
0
|
g.
Salmonella sp.
|
0
|
0
|
h.
Camphylobacter
sp.
|
0
|
0
|
i.
Listeria sp.
|
0
|
0
|
Sumber:
SNI 01-7388-2009
2.2 Escherichia coli
Escherichia coli merupakan
mikroba yang termasuk dalam kelompok Enterobacteriaceae.
Karakteristik bakteri ini adalah batang pendek (0.5-1.0x1.0-3.0 µm), motil
(adanya flagela yang merata di seluruh permukaan sel), bersifat Gram negatif,
anaerobik fakultatif, oksidase negatif, katalase positif, tidak membentuk
spora, dan dapat memfermentasikan glukosa (Pelczar dan Chan, 2007). Escherichia
coli merupakan bakteri Gram negatif yang dapat tumbuh dengan baik pada
makanan. E. coli dapat tumbuh pada suhu rendah (-2 °C) dan suhu tinggi
(50 °C). Bakteri ini tumbuh sangat lambat di dalam makanan pada suhu 5 °C.
Namun, ada laporan yang menyatakan bahwa bakteri ini dapat tumbuh dengan baik
pada suhu 3-6 °C. E. coli juga dapat tumbuh dengan baik pada media yang
mengandung karbon organik (glukosa), sumber nitrogen (NH4)2SO4,
dan mineral lainnya. Bakteri ini dapat ditumbuhkan atau dikultur pada media nutrient
agar. Dalam waktu 12-16 jam dengan suhu 37 °C, bakteri ini dapat
membentuk koloni pada nutrient agar (Jay et al., 2005).
Escherichia coli merupakan
mikroorganisme indikator yang paling spesifik untuk menilai cemaran fekal dan
merupakan golongan Coliform yang paling sering ditemukan pada karkas
unggas (Mead, 2003). Bakteri Escherichia coli pada daging ayam dapat
dibagi menjadi dua golongan yaitu patogen dan non-patogen. Golongan non-patogen
dapat menyebabkan pembusukan pada pangan asal hewan, sedangkan golongan pathogen
dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Toksin dari E. coli patogen
yang dapat dijumpai pada daging ayam adalah verocytotoxin E. coli (VTEC),
yang dapat menyebabkan diare dan hemorrhagic colitis dan kadang-kadang menyebabkan
hemolytic uremic syndrome (HUS) pada manusia. Salah satu VTEC penyebab
wabah penyakit yang ditularkan melalui makanan yang utama adalah serogrup
O157:H7 (Cox, 2005). Gambar
bakteri Echerichia coli dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Bentuk bakteri Echerichia
coli pada mikroskop elektron
Sumber: Stevens (2009), dalam Marliena (2016).
Bakteri Echerichia coli
dapat tumbuh pada suhu optimum 37°C, dengan nilai pH maksimum 8,5. Bakteri E. coli merupakan bakteri yang relatif
sensitif terhadap panas sehingga akan mati atau inaktif pada suhu pasteurisasi
atau selama pemasakan makanan (Maloha, 2002). Bakteri ini memiliki tiga antigen
diantaranya adalah antigen O (somatik), antigen H (flagella), dan antigen K
(kapsula) (Winn et al., 2006). Menurut
Ismail (2011), E.coli memiliki sifat
biokimia, dimana kuman ini mampu meragikan glukosa, laktosa, sukrosa, manitol,
dan maltosa dengan membentuk asam dan gas sehingga pada media Mac Conkey, dan media eosine methylene blue koloni yang
terbentuk berwarna merah muda sampai merah tua dengan kilatan logam yang
spesifik, dan menampilkan permukaan yang halus. Pada uji indol dan methyl red bakteri
ini menunujukan hasil positif sedangkan pada uji voges proskauer menunjukan hasil negatif. Bakteri ini tidak
menghidrolisa urea dan tidak membentuk
H2S (Maloha, 2002).
Eschericchia coli terdapat
secara normal dalam alat-alat pencernaan manusia dan hewan. Bakteri E. coli merupakan bakteri yang bersifat fakultatif anaerob dan
memiliki tipe metabolisme fermentasi dan respirasi tetapi pertumbuhannya paling
banyak di bawah keadaan anaerob, namun beberapa E. coli juga dapat tumbuh dengan baik pada suasana aerob. Suhu yang
baik untuk menumbuhkan E. coli yaitu
pada suhu optimal 37°C pada media yang mengandung 1% peptone sebagai
sumber nitrogen dan karbon (Melliawati, 2009).
Bakteri E. coli biasanya berada di dapur dan
tempat-tempat persiapan bahan pangan melalui bahan baku dan selanjutnya masuk
ke makanan yang telah dimasak melalui tangan, permukaan alat-alat dan peralatan
lain. Bakteri E. coli dalam beberapa jam setelah kelahirannya dapat membentuk
koloni pada saluran pencernaan manusia maupun hewan. Masa
inkubasi adalah 1-3 hari dan gejala-gejalanya menyerupai gejala-gejala
keracuanan bahan pangan yang tercemar oleh Salmonella atau disentri
(Buckle et al., 2007). Faktor utama pembentukan koloni ini
ialah mikroflora dalam tubuh masih sedikit, rendahnya kekebalan tubuh, faktor
stres, pakan, dan infeksi agen patogen lain. Kebanyakan E. coli memiliki virulensi atau kemampuan untuk menimbulkan
penyakit yang rendah dan bersifat oportunis (Songer & Post, 2005). Echerechia coli keluar dari tubuh
bersama tinja dalam jumlah besar serta mampu bertahan sampai beberapa minggu. Kelangsungan hidup dan replikasi E. coli di lingkungan membentuk koliform.
E.coli tidak tahan terhadap keadaan
kering atau desinfektan biasa dan bakteri ini akan mati pada suhu 600
C selama 30 menit.
Berdasarkan
persyaratan mikrobiologi E. coli
dipilih sebagai indikator tercemarnya air atau makanan karena keberadaan
bakteri E. coli dalam sumber air atau
makanan merupakan indikasi terjadinya kontaminasi tinja manusia. Adanya E. coli menunjukkan suatu tanda praktek
sanitasi yang tidak baik karena E. coli bisa
berpindah dengan kegiatan tangan ke mulut atau dengan pemindahan pasif lewat
makanan, air, susu dan produk-produk lainnya. Bahan makanan
yang sering terkontaminasi oleh E. coli diantaranya ialah, daging ayam,
daging sapi, daging babi selama penyembelihan, ikan dan makanan-makanan hasil
laut lainnya, telur dan
produk
olahannya, sayuran, buah-buahan, sari buah, serta bahan minuman seperti susu dan lainnya. Bakteri ini dapat menyebabkan
penyakit seperti diare, infeksi saluran kemih, pneumonia, meningitis pada bayi
yang baru lahir dan infeksi luka (Karsinah et
al., 1994).
Berdasarkan sifat dan karakteristik virulensinya, Escherichia
coli diklasifikasikan menjadi lima kelompok (Jawetz et al., 1995) yaitu:
1. Enteroinvasive
E. coli (EIEC)
Menyebabkan penyakit yang mirip dengan
shigellosis dengan menyerang sel epitel mukosa usus.
2. Enteroagregative
E. coli (EAEC)
Menyebabkan diare yang akut dan kronis
(dalam jangka waktu lebih dari 14 hari) dengan cara melekat pada mukosa
intestinal, menghasilkan enterotoksin dan sitotoksin, sehingga terjadi
kerusakan mukosa, pengeluran sejumlah besar mukus, dan terjadi diare.
3. Enteropathogenic
E. coli (EPEC)
Merupakan penyebab penting diare pada
bayi, khususnya di Negara berkembang. Bakteri ini melekat pada usus kecil.
Infeksi EPEC dapat mengakibatkan diare cair yang sulit diatasi dan kronis.
4. Enterotoxigenic
E. coli (ETEC)
Beberapa strain ETEC memproduksi
eksotoksin yang sifatnya labil terhadap panas (LT) dan toksin yang stabil
terhadap panas (ST). Infeksi ETEC dapat mengakibatkan gejala sakit perut,
kadang disertai demam, muntah, dan pada feses ditemukan darah.
5. Enterohemorrhagic
E. coli (EHEC)
Serotipe E. coli yang memproduksi
verotoksin yaitu EHEC O157:H7. EHEC memproduksi toksin yang sifatnya hampir sama
dengan toksin Shiga yang diproduksi oleh strain Shigella dysenteriae.
Verotoksin yang dihasilkan menghancurkan dinding mukosa menyebabkan pendarahan.
2.3 Antimikroba
Antimikroba merupakan
substansi (zat-zat) kimia yang berasal dari berbagai macam mikroorganisme dalam
konsentrasi rendah, namun mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya.
Antibakteri adalah obat pembasmi mikroba terutama mikroba yang merugikan
manusia (Hanief, 2011).
2.3.1
Mekanisme Kerja Antimikroba
Mekanisme
kerja antimikroba ada yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba yang dikenal
dengan aktivitas bakteriostatik dan ada yang membunuh mikroba yang dikenal
dengan aktivitas bakterisida. Antimikroba memiliki aktivitas tertentu dan dapat
meningkat dari aktivitas bakteriostatik menjadi aktivitas bakterisida bila
kadar antimikroba meningkat (Ganiswarna, 1995). Terdapat beberapa
mekanisme kerja antimikroba, antara lain:
a.
Antimikroba yang mempengaruhi dinding sel
Mikroorganisme memiliki
dinding sel yang merupakan struktur kaku yang terdiri dari suatu kompleks
polimer mukopeptida. Dinding sel ini menjaga tekanan osmotik di dalam bakteri,
sehingga mampu mencegah gangguan dalam sintesisnya. Antibiotika yang dapat
menghambat reaksi dalam proses sintesis dinding sel adalah penisilin,
fosfomisin, sikloserin, ristosetin, vankomisin dan basitrasin.
b.
Antimikroba yang merusak membran sel
Beberapa
antibiotika mampu merusak kehidupan sel
mikroorganisme. Membrane sel sebagai pembatas osmotik bagi difusi antara
lingkungan luar dan dalam sel. Obat seperti polimiksin merupakan kelompok
polipeptida sederhana yang sukar berdifusi dan sangat toksik.
c.
Antimikroba
yang menggangu fungsi DNA
Obat antimikroba yang
berfungsi untuk merusak fungsi DNA hanya beberapa saja yang dapat dipakai
karena faktor toksisitasnya. Antimikroba yang bekerja sesuai dengan mekanisme
tersebut adalah mitosin dan asam nalidiksat.
d.
Antimikroba yang menghambat sintesis protein
Sintesis protein pada
mikroorganisme berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Terdapat
dua hasil akhir dari proses sintesis protein, yaitu transkripsi atau sintesis
asam ribonukleat yang DNA-dependent,
dan translasi atau sintesis protein yang RNA-dependent.
Antimikroba yang mampu menghambat sintesis protein adalah rifampisin,
aminoglikosida, tetrasiklin, dan kloramfenikol.
2.3.2
Metode Uji Antimikroba
Potensi dari suatu antimikroba diperkirakan dengan membandingkan
zona hambat pertumbuhan terhadap mikroorganisme yang sensitif dari hasil
penghambatan suatu konsentrasi larutan uji dibandingkan dengan antibiotik. Uji
antimikroba dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode difusi dan metode
dilusi. Pada metode difusi termasuk didalamnya metode disk diffusion (tes
Kirby & Baur), E-test, ditch-plate technique, cup-plate technique.
Sedangkan pada metode dilusi termasuk didalamnya metode dilusi cair dan dilusi
padat (Pratiwi, 2008). Pada metode difusi, dilakukan pengukuran daya
hambat dari senyawa antimikroba yang terkandung dalam ekstrak. Metode difusi
merupakan metode yang paling umum digunakan, diantaranya yaitu:
1.
Metode disk diffusion
Metode disk diffusion (tes Kirby & Baur)
menggunakan piringan yang berisi agen antimikroba, kemudian diletakkan pada
media agar yang sebelumnya telah ditanami mikroorganisme sehingga agen
antimikroba dapat berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih
mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen
antimikroba pada permukaan media agar. Dari hasil yang ditunjukan,
dilakukan pengukuran menggunakan jangka sorong. Semakin besar zona hambat yang
dihasilkan, semakin besar pula aktivitas suatu zat antimikroba. Klasifikasi respon
hambatan pertumbuhan bakteri oleh Suryawiria (1978) dalam Pradana (2013) disajikan pada
Tabel 2.
Tabel
2. Klasifikasi Respon Hambatan Pertumbuhan Bakteri
Diameter Zona Hambat
|
Respon Hambatan
Pertumbuhan
|
>20 mm
|
Sangat kuat
|
10-20 mm
|
Kuat
|
5-10 mm
|
Sedang
|
<5 mm
|
Lemah
|
2.
Metode
E-test
Metode E-test digunakan untuk mengestimasi Kadar Hambat
Minimum (KHM), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastik
yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah sampai tertinggi dan
diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme
sebelumnya. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang ditimbulkan yang
menunjukan kadar agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme
pada media agar.
3.
Ditch-plate technique.
Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba
yang diletakka pada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam
cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6
macam) digoreskan kearah parit yang berisi agen antimikroba tersebut.
4.
Cup-plate technique.
Metode ini serupa dengan disk diffusion, dimana
dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada
sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji. Pada
metode ini, media agar yang sudah diinokulasikan dengan bakteri kemudian dibuat
sebidang parit. Parit tersebut diisi dengan ekstrak dan diinkubasi pada waktu
dan suhu optimum pertumbuhan bakteri. Setelah itu, dilakukan pengamatan dengan
melihat ada atau tidaknya hambatan yang terbentuk.
2.4 Pengekstrakan
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut dan masa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Soesilo,
1995). Ekstraksi adalah pemisahan bahan aktif dari jaringan tumbuhan ataupun
hewan menggunakan pelarut yang sesuai melalui prosedur yang telah ditetapkan
(Tiwari et al., 2011). Selama proses ekstraksi, pelarut akan berdifusi
sampai ke material padat dari tumbuhan dan akan melarutkan senyawa dengan
polaritas yang sesuai dengan pelarutnya. Efektifitas ekstraksi senyawa kimia
dari tumbuhan bergantung pada bahan-bahan tumbuhan yang diperoleh, keaslian
dari tumbuhan yang digunakan, proses ekstraksi, dan ukuran partikel (Tiwari et
al., 2011).
Macam-macam perbedaan metode ekstraksi yang akan mempengaruhi
kuantitas dan kandungan metabolit sekunder dari ekstrak, antara lain: tipe
ekstraksi, waktu ekstraksi, suhu ekstraksi, konsentrasi pelarut, dan polaritas
pelarut (Tiwari et al., 2011). Ada beberapa metode yang sering digunakan
dalam ekstraksi diantaranya: maserasi, infusa, digesti, dekoksi, perkolasi,
soxhlet, ekstraksi aqueous alkoholik yang difermentasi, ekstraksi counter-current,
sonikasi (ekstraksi ultrasound), supercritical fluid extraction, dan lain
sebagainya (Hastari, 2012).
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur kamar (Ditjen POM, 2000). Keuntungan ekstraksi dengan cara maserasi
adalah pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana, sedangkan kerugiannya
yaitu cara pengerjaannya yang lama, membutuhkan pelarut yang banyak dan penyarian
kurang sempurna. Dalam maserasi (untuk ekstrak cairan), serbuk halus atau kasar
dari tumbuhan obat yang kontak dengan pelarut disimpan dalam wadah tertutup
untuk periode tertentu dengan pengadukan yang sering, sampai zat tertentu dapat
terlarut. Metode ini paling cocok digunakan untuk senyawa yang termolabil
(Tiwari et al., 2011).
2.5 Tanaman Pisang Muli
Pisang merupakan salah satu buah yang banyak tumbuh
di Indonesia. Sebagai salah satu negara produsen pisang dunia dan terbesar di
Asia, disertai dengan manfaat pisang yang beragam membuat banyak masyarakat
Indonesia mengolah dan memproduksi pisang (Suyanti dan Supriyadi, 2008). Tanaman
pisang merupakan suatu tumbuhan yang dari akar hingga daunnya dapat digunakan
dan dimanfaatkan oleh manusia. Pohon pisang selalu melakukan regenerasi sebelum
berbuah dan mati, yaitu melalui tunas-tunas yang tumbuh pada bonggolnya. Pisang
muli merupakan salah satu jenis pisang yang dapat dimakan langsung setelah
matang (Suyanti dan Supriyadi, 2008).
Menurut Tjitrosoepomo (1985), klasifikasi pisang
muli adalah sebagai berikut :
Kerajaan
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledone
Ordo :
Musales
Famili
: Musaceae
Genus
: Musa
Spesies : Musa
acuminata Linn
Gambar 2. Pisang Muli (Musa acuminata)
Sumber: Firda (2015)
2.5.1 Kulit Pisang
Menurut Suyanti dan
Supriyadi (2007 ), tanaman pisang memang banyak dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan hidup manusia dan dikenal sebagai tanaman yang multiguna karena selain
buahnya, bagian yang lain pun dapat dimanfaatkan, mulai dari bonggol hingga
daunnya. Selain untuk pakan ternak, kulit buah pisang juga dapat dijadikan
sebagai bahan campuran crem anti nyamuk. Kulit buah pisang juga dapat diekstrak
untuk dibuat pektin. Manfaat lainnya dapat dijadikan sebagai pembunuh larva
serangga, yakni dengan sedikit menambahkan urea dan pemberian bakteri.
Berdasarkan hasil temuan dari Taiwan, diketahui bahwa kulit pisang yang
mengandung vitamin B6 dan serotonin dapat diekstraksi dan dimanfaatkan untuk
kesehatan mata (menjaga retina mata dari kerusakan akibat cahaya yang lebih).
Dari pemanfaatan buah
pisang dapat menyebabkan permasalahan limbah pisang, terutama kulitnya, dimana
40% dari total berat buah pisang merupakan kulitnya yang umumnya belum dapat
dimanfaatkan secara optimal (Nagarajaiah dan Prakash, 2011). Kulit buah
memiliki kandungan non-nutrisi, termasuk polifenol dan flavonoid (Lee et al., 2010). Polifenol merupakan
sumber potensial antioksidan dan antimikroba terhadap sejumlah besar bakteri
patogen, dan agen potensial untuk mencegah penyakit (Karou et al., 2005). Kulit pisang memiliki kadar senyawa fenolik yang
jauh lebih tinggi daripada yang terkandung pada daging buahnya (Humairani,
2007). Kulit buah pisang yang berwarna kuning kaya akan senyawa flavonoid,
serta mengandung senyawa fenolik lainnya (Lee et al., 2010).
Komposisi antioksidan
dan anti-nutrien dari kulit pisang (per 100 g) antara lain adalah: karoten,
β-karoten, vitamin C, tannin, oksalat, asam fitat, serat diet tidak larut, dan
serat diet larut (Nagarajaiah dan Prakash, 2011). Pada kulit pisang juga
terdapat selulosa, hemiselulosa, arinin, asam aspartat, treonin (Imam dan
Akter, 2011). Kulit pisang yang dibuang sebagai limbah, ternyata kaya akan
komponen bioaktif yang dianggap memiliki efek pada kesehatan yang menguntungkan
(Chandra et al., 2010). Berdasarkan kriteria
yang ditetapkan oleh National Cancer Institute, ekstrak kulit pisang tidak
toksik terhadap sel manusia normal, sehingga dapat dengan aman digunakan (Lee et al., 2010).
2.5.2
Jantung Pisang
Bunga pisang disebut
juga jantung pisang karena bentuknya menyerupai jantung. Bunga pisang tergolong
berkelamin satu, yakni berumah satu dalam satu tandan. Daun penumpu bunga
biasanya berjejal rapat dan tersusun secara spiral. Daun pelindung yang
berwarna merah tua, berlilin, dan mudah rontok berukuran panjang 10-25 cm. Bunga
tersebut tersusun dalam dua baris melintang, yakni bunga betina berada di bawah
bunga jantan (jika ada). Lima daun bunga melekat sampai tinggi dengan panjang
6-7 cm. Benang dari yang berjumlah lima buah pada bunga terbentuk tidak
sempurna. Pada bunga betina terdapat bakal buah yang berbentuk persegi,
sedangkan pada bunga jantan tidak terdapat bakal buah (Suyanti & Supriyadi,
2008).
Jantung pisang merupakan bunga pisang berwarna merah
keunguan yang biasanya banyak dimanfaatkan untuk membuat sayur. Selain dibuat
sayur, bunga pisang dapat pula diolah menjadi manisan dan acar. Jantung pisang
mengandung gizi cukup tinggi yaitu protein, vitamin, lemak, dan karbohidrat
(Suyanti dan Supriyadi, 2008). Organ jantung pisang memiliki kandungan senyawa
aktif (metabolit sekunder) yaitu alkaloid, saponin, tannin, flavonoid, dan
total fenol (Mahmood et al., 2011).
III.
BAHAN DAN METODE
3.1
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi
Hasil Pertanian, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis
Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian, dan
Laboratorium Organik Fakultas Matematika dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Lampung, pada bulan Desember 2016 s.d. Maret 2017.
3.2
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kulit pisang
dan jantung pisang muli, daging ayam, alkohol 70%, etanol 96%, akuades,
alumunium foil, kapas, kertas wattman, H2SO4, BaCl2,
NaCl fisiologis, kultur E.coli, Mac Conkey Agar (Oxoid), Nutrient Agar (Oxoid),
Buffer Pepton Water (Oxoid), dan Nutrient Broth (Merck).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu timbangan
analitik, loyang, oven, vacuum rotary
evaporator, hotplate, shaker
waterbath, laminar air flow, cawan
petri (Normax), ose, tabung reaksi, rak tabung reaksi, vortex, bunsen,
autoklaf, inkubator, mikropipet, pipet
tetes, jangka sorong, Erlenmeyer (Pyrex), Beaker glass, gelas ukur, pinset, dan
spatula.
3.3
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan melalui dua tahap secara
terpisah. Penelitian pertama mencari konsentrasi terbaik ekstrak antimikroba
pada kulit pisang muli. Penelitian kedua mencari konsentrasi terbaik ekstrak
antimikroba pada jantung pisang muli. Masing-masing percobaan menggunakan
faktor tunggal dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) sebanyak enam kali
ulangan. Data yang didapat dari hasil pengamatan dianalisis kesamaan ragam
dengan Uji Bartlett untuk mengetahui kehomogenan data antar ulangan, dan
kemenambahan data dianalisis dengan uji Tuckey. Setelah data tersebut homogen,
kemudian data dianalisis dengan sidik ragam untuk mendapatkan ragam penduga
galat dan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antar perlakuan. Data
dianalisis lebih lanjut menggunakan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf
5%.
Pada penelitian pertama menggunakan ekstrak kulit
pisang dengan lima taraf konsentrasi yaitu K1 (20%), K2 (40%), K3 (60%), K4
(80%), dan K5 (100%). Penelitian kedua menggunakan ekstrak jantung pisang
terdiri dari lima taraf konsentrasi yaitu J1 (20%), J2 (40%), J3 (60%), J4
(80%), dan J5 (100%). Sediaan ekstrak 100% dibuat dari 10 ml
ekstrak kental, konsentrasi 80 % (v/v) dibuat dari 8 ml ekstrak ditambah 2 ml
aquades, konsentrasi 60 % (v/v) diperoleh dari 6 ml ekstrak ditambah 4 ml
aquades, konsentrasi 40 % (v/v) diperoleh dari 4 ml ekstrak ditambah 6 ml
aquades, konsentrasi 20 % (v/v) diperoleh dari 2 ml ekstrak ditambah 8 ml
aquades, dan kontrol (negatif) digunakan aquades sebanyak 10 ml.
3.4
Pelaksanaan Penelitian
3.4.1
Preparasi
Sampel
Sampel daging ayam
diperoleh dari Pasar Koga Bandar Lampung dan diambil secara acak. Kultur
bakteri Echerichia coli diperoleh
dari koleksi Laboratorium Mikrobiologi Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, Fakultas pertanian, Universitas Lampung. Sementara sampel kulit buah
dan jantung pisang muli diperoleh dari Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus,
Lampung. Sampel kulit buah pisang muli dipilih yang sudah matang sempurna atau
sudah menguning kulitnya. Sampel kulit pisang dan jantung pisang masing-masing
sebanyak ±7 kg dicuci bersih (terlihat secara fisik), kemudian dikeringkan
dengan diangin-anginkan sampai tiris airnya. Setelah itu dipotong kecil-kecil
dengan ketebalan ± 0,5 cm x 0,5 cm kemudian ditimbang beratnya. Berat awal
masing-masing sampel yang sudah di potong adalah ±6 kg. Sampel dikeringkan di
bawah sinar matahari secara tidak langsung selama 24 jam. Kemudian dilanjutkan
pengeringan dengan oven blower pada
suhu 50°C sampai kadar airnya stabil (kurang dari 10%) selama 48 jam. Setelah
itu simplisia digiling menggunakan blender hingga terbentuk serbuk. Serbuk
hasil pengeringan sudah siap untuk dimaserasi.
3.4.2
Pembuatan
Ekstrak
Ekstraksi kulit pisang
dan jantung pisang muli dilakukan secara maserasi, yaitu serbuk kulit dan
jantung pisang muli direndam dengan pelarut etanol 96% sebanyak 2 liter di
dalam botol maserasi yang tertutup rapat dan dibiarkan selama 24 jam pada
temperatur kamar, terlindung dari sinar matahari langsung sambil sesekali
diaduk, kemudian disaring sehingga diperoleh filtrat dan ditampung dalam wadah
penampungan (botol maserasi). Filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 50 °C hingga
diperoleh ekstrak kental kulit pisang dan jantung pisang muli. Ekstrak kulit
pisang dan jantung pisang muli yang diperoleh masing-masing diukur derajat
keasamaan (pH) menggunakan alat pH meter, serta uji organoleptik meliputi
warna, aroma, dan kekentalan. Diagram alir ekstraksi kulit pisang disajikan
pada Gambar 3 dan ekstraksi jantung pisang disajikan pada Gambar 4.
Kulit pisang
muli
|
Dicuci
|
Air
|
Air +
kotoran
|
Dipotong kecil-kecil (0,5x0,5cm)
|
Dikeringkan
di bawah sinar matahari secara tidak langsung (t=24 jam)
|
Dimaserasi,
t = 24 jam.
|
Etanol 96 %
(2 L)
|
Maserat
|
Diuapkan
dengan rotary evaporator (50°C)
|
Etanol
|
Dikeringkan
dalam oven (T=50°C, t=2 hari)
|
Serbuk
|
Ditimbang
500 g
|
Digiling dengan blender
|
Ekstrak
kental kulit pisang muli
|
Gambar 3. Diagram
alir ekstraksi kulit pisang, dimodifikasi dari Ningsih et al.,
(2013)
Jantung
pisang muli
|
Dicuci
|
Air
|
Air +
kotoran
|
Dipotong kecil-kecil (0,5x0,5cm)
|
Dikeringkan
di bawah sinar matahari secara tidak langsung (t=24 jam)
|
Dimaserasi,
t = 24 jam.
|
Etanol 96 %
(2 L)
|
Maserat
|
Diuapkan
dengan rotary evaporator (50°C)
|
Etanol
|
Dikeringkan
dalam oven (T=50°C, t=2 hari)
|
Serbuk
|
Ditimbang
500 g
|
Digiling dengan blender
|
Ekstrak
kental jantung pisang muli
|
Gambar 4. Diagram
alir ekstraksi jantung pisang, dimodifikasi dari Ningsih et al.,
(2013)
3.4.3
Pembuatan
Suspensi Bakteri Uji
1.
Peremajaan bakteri uji
Peremajaan bakteri E.coli dilakukan dalam tiga tahap, yaitu peremajaan menggunakan
media Nutrient Broth, media Mac Conkey Agar, dan media Nutrient Agar miring. Pertama, bakteri Echerichia coli murni sebanyak 2 ose ditumbuhkan pada media Nutrient Broth (NB) kemudian diinkubasi
selama 24 jam dalam inkubator pada suhu 37°C. Peremajaan kedua dilakukan dengan
cara mengambil sebanyak 1 ml bakteri uji dari biakan NB dan ditanam pada media Mac Conkey Agar (MCA) dengan metode pour plate dan diinkubasi selama 24 jam
pada suhu 37°C. Selanjutnya diambil sebanyak 2 ose dari biakan MCA dan digores pada
medium Nutrient Agar (NA) permukaan agar miring kemudian diinkubasi
selama 24 jam pada suhu 37°C.
2.
Pembuatan standar turbiditas 0,5 Mc
Farland (Sutton, 2011)
Sebanyak 9,95 ml H2SO4
1% dimasukkan kedalam tabung reaksi dan ditambah 0,05 ml BaCl2 1% kemudian
dihomognekan dengan vortex. Apabila kekeruhan suspensi bakteri uji adalah sama
dengan kekeruhan suspensi standart, berarti konsentrasi suspens bakteri adalah
1,5 x 108 CFU/ml.
3.
Pembuatan suspense bakteri
Koloni bakteri E.coli
yang sudah diremajakan pada biakan NA umur 24 jam diambil sebanyak 2 ose
kemudian disuspensikan dalam 2 ml NaCl fisiologis 0,9% dalam tabung reaksi
steril dan dihomogenkan dengan vortex selama 15 detik. Kekeruhan yang diperoleh
kemudian dibandingkan secara visual dengan standar 0,5 Mc Farland. Kekeruhan
dilihat dan dibandingkan dengan latar belakang kertas hitam putih bergaris. Jika
suspensi bakteri uji terlalu keruh, maka dilakukan penambahan larutan NaCl fisiologis
0,9%. Jika suspensi bakteri uji kurang keruh, maka ditambahkan beberapa ose
bakteri yang sudah diremajakan. Suspensi bakteri uji yang kekeruhannya sudah
sama dengan standar 0,5 Mc Farland kemudian digunakan untuk uji aktivitas
antimikroba.
3.4.4
Uji Aktivitas Antimikroba
1.
Pembuatan konsentrasi ekstrak
Konsentrasi
ekstrak yang digunakan yaitu 100%, 80%, 60%, 40%, dan 20%. Sediaan ekstrak 100%
dibuat dari 10 ml ekstrak kental, konsentrasi 80 % (v/v) dibuat dari 8 ml
ekstrak ditambah 2 ml aquades, konsentrasi 60 % (v/v) diperoleh dari 6 ml
ekstrak ditambah 4 ml aquades, konsentrasi 40 % (v/v) diperoleh dari 4 ml
ekstrak ditambah 6 ml aquades, konsentrasi 20 % (v/v) diperoleh dari 2 ml
ekstrak ditambah 8 ml aquades, dan kontrol (negatif) digunakan aquades sebanyak
10 ml.
2.
Proses uji antimikroba
Uji
aktivitas antimikroba dilakukan dengan metode Difusi Kertas Cakram dan hasil
uji antibakteri didasarkan pada pengukuran Diameter Daerah Hambat (DDH)
pertumbuhan bakteri yang terbentuk di sekeliling kertas cakram. Untuk
mengetahui pengaruh pelarut etanol dalam hambatan bakteri E.coli dilakukan uji daya hambat etanol, dan untuk mengetahui
pengaruh ekstrak kulit dan jantung pisang muli dalam hambatan bakteri E.coli dilakukan uji daya hambat
ekstrak.
a.
Uji daya hambat etanol
Suspensi
bakteri uji diambil sebanyak 100 μL dituang secara merata pada medium Nutrient
Agar (NA) menggunakan metode spread plate. Ditunggu beberapa
saat sampai mengering, lalu diletakkan kertas cakram yang telah dijenuhkan
dengan etanol 96%. Kemudian diinkubasi pada suhu 37⁰C
selama 24 jam dan diamati daya hambatnya.
b.
Uji daya hambat ekstrak
Pada masing-masing ekstrak dengan konsentrasi yang
berbeda, diambil sebanyak 1 tetes dan diteteskan pada kertas cakram steril, lalu
ditunggu sampai menjadi jenuh. Suspensi bakteri uji diambil sebanyak 100 μL,
dituang secara merata pada medium Nutrient Agar (NA) menggunakan metode spread
plate. Ditunggu beberapa saat sampai mengering, lalu diletakkan kertas
cakram yang telah dijenuhkan dengan masing-masing ekstrak dengan konsentrasi
yang telah ditentukan (100%, 80%, 60%, 405, dan 20%, serta kontrol negatif). Media
yang sudah berisi bakteri uji, kontrol negatif, dan cakram yang telah
dijenuhkan dengan esktrak kemudian diinkubasi pada suhu 37⁰C
selama 24 jam. Diameter Daerah Hambat (DDH) yang terbentuk di sekitar cakram
setelah 24 jam diamati dengan menggunakan jangka sorong. Uji dilakukan sebanyak
enam kali pengulangan. Diagram alir uji aktivitas antimikroba disajikan
pada Gambar 5, diagram alir uji penurunan total E.coli pada daging ayam disajikan pada Gambar 6, dan diagram alir
uji total E.coli pada daging ayam disajikan
pada Gambar 7.
Kultur bakteri E.coli (100µl)
|
Diletakkan kertas cakram (5,5 mm) berisi ekstrak
kulit pisang (20%, 40%, 60%, 80%, 100%) dan
kontrol negatif (aquades) pada permukaan media NA
|
Dituang dalam media Nutrient
Agar (NA) dengan metode spred plate
|
Diletakkan kertas cakram (5,5 mm) berisi ekstrak
jantung pisang (20%, 40%, 60%, 80%, 100%) dan kontrol negatif (aquades)
pada permukaan media NA
|
Didiamkan sampai mengering
(t=1 jam)
|
Inkubasi (T=37°C, t=24 jam)
|
Daerah hambatan (mm)
|
Gambar 5. Uji
aktivitas antimikroba, dimodifikasi dari Ningsih et al., (2013)
3.4.5
Uji Penurunan
Total E.coli pada Daging Ayam
1 potong
daging ayam diukur total E.coli,
berdasarkan Lay (1994)
|
2 potong daging ayam (masing-masing
5 g)
|
Dimasukkan
dalam 2 buah erlenmeyer
|
E.coli 1 ml
|
Shaker
pertama
(t= 30
menit, T=37°C)
|
Shaker
ke-dua
(t= 90
menit, T=37°C)
|
Ekstrak 5 ml
|
1 potong
daging ayam diukur total E.coli,
berdasarkan Lay (1994)
|
Total
penurunan E.coli
|
Gambar 6. Uji penurunan total E.coli
pada daging ayam, dimodifikasi dari
Fardiaz (1989)
Daging
ayam (5 g)
|
Dimasukkan
dalam Erlenmeyer berisi BPW (45 ml)
|
Dihomogenkan
|
Dilakukan
pengenceran hingga 10-8
|
Diambil
sampel setelah pengenceran (1 ml)
|
Dituang
ke cawan petri steril
|
Dituangkan
media Mac Conkey Agar
|
Diinkubasi
(T=37°C, t= 24 jam)
|
Total
Koloni
|
Gambar 7. Uji total E.coli pada daging ayam (Lay, 1994 dalam Marliena,
2016)
IV.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
(PRIVATE)
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar.
2003. Mutu Karkas Ayam Hasil Pemotongan Tradisional dan
Penerapan
Sistem Hazard Analysis Critical Control Point. Jurnal Litbang Pertanian. 22: 33- 39.
Babu, M. A., M. A. Suriyakala., K. M.
Gothandam. 2012.Varietal Impact on
Phytochemical
Contents and Antioxidant Properties of Musa acuminate
(Banana). J.
Pharm. Sci. & Res. 4(10): 1950 - 1955.
BSN (Badan Standardisasi Nasional)
(2009). SNI 01-3924-2009 Tentang Mutu
Karkas dan
Daging Ayam. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
BSN (Badan Standardisasi Nasional)
(2009). SNI 01-7388-2009 Tentang Mutu
Daging Ayam.
Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Buckle,
K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., and Wootton, M. 2007. Ilmu Pangan,
Penerjemah:
Hari Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia. Jakarta
Chandra, S., Baravalia, Y., Kaneria, M.,
and Rakholiya, K. 2010. Fruit and
Vegetable Peels-
Srong Natural Source of Antimicrobics. Current
Research. Department of Biosciences, Saurashtra University, Gujarat, India.
P 444 – 450.
Cox
NA et al. 2005. Bacterial Contamination of Poultry as a Risk to Human
Health.
Di dalam: Mead GC, editor. Food Safety Control in the Poultry
Industry. Boca Raton: CRC Pr. hlm 21-43.
Davis, W.W. dan T.R. Stout.
1971. Disc Plate Methods of Microbiological
Antibiotic
Assay. J. Applied Microbiology. 22(4): 666-670.
Departemen Kesehatan, RI. 1996.
Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang
Dewasa. Depkes.
Jakarta.
Departemen
Kesehatan, RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat,
Cetakan Pertama. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta. Hal: 10-12.
Dewantoro, G.I., 2011. Tingkat
Prevalensi Echerichia coli Dalam
Daging Ayam
Beku yang
Dilalulintaskan Melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak. (Skripsi). Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Djaafar
T.F, Rahayu S. 2007. Cemaran Mikroba pada Produk Pertanian, Penyakit
yang
Ditimbulkan dan Pencegahannya. Jurnal Litbang Pertanian. 26: 67-
75.
Ditjen
POM, Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta.
Fardiaz, S. 1989. Analisa Mikrobiologi Pangan. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Firda.
2015. Manfaat dan Khasiat Jantung Pisang Untuk Kesehatan.
http://www.belanjaalkes.com/blog/2015/08/banana-heart-benefits-for-health. Diakses pada 25
Mei 2017.
Ganiswara,
S.G., 1995. Farmakologi dan Terapi,
Edisi 4. Gaya Baru. Jakarta. 862
hlm.
Gunawan, Didik dan Mulyani,
Sri. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi)
Jilid I. Penebar Swadaya. Jakarta.
115 hlm.
Hanief, S. 2011. Efektivitas
Esktrak Jahe (Zingiber officonale Roscoe)
Terhadap
Pertumbuhan
Bakteri Streptococcus viridians. (Skripsi).
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. 61 hal.
Hastari, R. 2012. Uji Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Pelepah dan Batang Tanaman
Pisang
Ambon (Musa paradisiaca var.sapientum) terhadap Staphylococcus aureus. (Karya Tulis Ilmiah). Universitas
Diponegoro. Bandung. 57 hlm.
Humairani, R. 2007. Antioksidan
Kulit Pisang (Musa paradisiaca) pada minyak
ikan terhadap
stabilitas oksidasi dengan katalis panas dan cahaya. (Skripsi). Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Imam, MZ,
Akter S, Mazumder EH, Rana S. 2011. Antioxidant activities of different
parts of Musa sapientum L. ssp. sylvestris fruit.
J. of Applied
Pharmaceutical Science. 01(10): 68-72.
Ismail,
A, F, H., Samah, O, A., & Sule, A. 2011. A Preliminary Study on
Antimicrobial
Activity Of Imperata cylindrica, Borneo. J. Resour. Sci. Tech, 1:63-66.
Jawetz,
E. et al. 1995. Review of
Medical Microbiology. Los Altos, California:
Lange Medical
Publication.
pp 227-230.
Jawetz,
E. J. I., Melnick dan Adelberg, E.A. 1996. Mikrobiologi Kedokteran Edisi
20
diterjemahkan oleh Nugroho, E., dan Maulany. EGC. Jakarta. pp. 234- 240.
Jay
J.M, Loessner M.J, Golden D.A. 2005. Modern Food Microbiology Ed 9th.
Springer
Science and Business Media, LLC. USA.
Karadi, R.V., Shah, A.,
Parekh., dan Azmi, P. 2001. Antimicrobial Activities of
Grapeseed
Extracts: A New Approach In High Cardiovascular Risk Patients?. Int J Clin Pract. 60(11): 1484-1492.
Karou, d., Dicko,M.H., Simpore,
J., and Traore, A.S. 2005. Antioxidant and
antibacterial
activities of polyphneols from ethnomedicinal plants of Burkina Faso. Afr. J. Biotechnol . 4(8): 823-828.
Karsinah, Lucky, Soehanto, dan
H.W. Mardiastuti. 1994. Kokus Positif
Gram dan
Batang Negatif Gram dalam Buku Ajar Mikrobiologi
Kedokteran, Edisi Revisi. Bina
Aksara. Jakarta. p 163-165.
Katno,
Haryanti S., dan Triyono A., 2009. Uji Daya Hambat Ekstrak Etanol Daun
Sembung
(Blumea balsamifera (L.) DC.)
Terhadap Pertumbuhan Mikroba E.coli, S.aureus dan C.albicans. Jurnal Tumbuhan
Obat Indonesia. 2(1): 33-36.
Lay,W.B. 1994. Analisa
Mikroba di Laboratorium, Edisi I.
PT Raja Grafindo
Persada.
Jakarta.
Lee, E.H., Yeom, H.J., Ha M.S.,
and Bae, D.H. 2010. Development of Banana
Pell Jelly
and its Antioxidant and textural properties. Food Sci. Biotechnol 19 (2):
449- 455.
Lukman
DW., 2009. Higiene Pangan, Bagian Kesehatan
Masyarakat Veteriner.
Departemen
Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Bogor.
Lukman, D.W., 2010. Pembusukan Daging, Bagian
Kesehatan Masyarakat
Veteriner. Departemen
Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Mahmood, A., N. Ngah dan M. N. Omar.
2011. Phytochemicals Constituent and
Antioxidant
Activities in Musa X Paradisiaca Flower. European Journal of Scientific
Research. 66 (22): 311-318.
Maloha,
M, 2002. Pemeriksaan Angka Kuman Escherichia
coli Dengan Usap Alat
Pada Restoran, Rumah Makan, dan Lokalisasi Makanan
Jajanan Di Kota Jambi Tahun 2001. (Skripsi). Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Mardaningsih,
Ana dan Resmi Aini. 2014. Pengembangan Potensi Ekstrak Daun
Pandan
(Pandanus amaryllifolius Roxb) Sebagai Agen Antibakteri.
J. of
Pharmaciana. 4 (2): 184-192.
Marliena, Lia. 2016. Uji Bakteriologis
dan Organoleptik Daging Ayam (Gallus
domesticus) di Pasar Tradisional dan Pasar Modern
Kota Bandar Lampung. (Skripsi). Universitas Lampung. Lampung. 67 hlm.
Matasyoh,
Lex G., 2014. Antimicrobial Assay and Phyto-cemical Analysis of Solanum nigrum Complex Growing in
Kenya. African Journal of
Microbiology
Research.
8(50).
Mead,
GC. 2003. Microbial Hazards in Production and Processing. Di dalam:
Mead
GC, editor. Poultry Meat Processing and Quality. Boca Raton: CRC
Pr. hlm 232-257.
Melliawati,
R. 2009. Escherichia coli dalam Kehidupan Manusia. J. Bio Trends.
4(1):
10-14.
Muani, A. 2013. Morfologi
Koloni Bakteri. https://anitamuina.wordpress.com/
2013/02/13/morfologi-koloni-bakteri/. Diakses pada 24 Februari 2017.
Murtidjo, B.A. 2003. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kasinius.
Jakarta.
Nagarajaiah,
S. B. dan Prakash, J. 2011. Chemical composition and antioxidant
potential
of peels from three varieties of banana. As. J. of Food and
Agroindustry.
4(01): 31-46.
Ningsih, A.P., Nurmiati., Agustien A.
2013. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Kental Tanaman
Pisang Kepok Kuning (Musa Paradisiaca
Linn.) terhadap Staphylococcus aureus
dan Echerichia coli. Jurnal Biologi Universtas Andalas. 2(3):
207-213.
Nur,
J., Dwyana A., dan Abdullah A. 2013.
Biokativitas Getah Pelepah Pisang
Ambon Musa paradisiacavar sapientum Terhadap
Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus,
Pseudomonas aeuroginosa, dan Escherichia coli. (Skripsi). Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Nuria,
M.C., 2010. Antibacterial Activities From Jangkang (Homalocladium
platycladum (F.Muell)
Bailey) Leaves. Jurnal Ilmu Pertanian.
6(2): 9-15.
Nuryati, L., Noviati, Rudi Waryanto, dan
Roch Widianingsih. 2015. Outlook
Komoditas
Pertanian Sub Sektor Peternakan (Daging Ayam). Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian Sekretariat Jenderal
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Okoli,
R.I., A. A. Turay., J.K Mensah and A. O. Aigbe. 2009. Phytochemical and
Antimicrobial
Properties of Four Herbs From Edo State, Nigeria. Report
and
Opinion. 1 (5) : 67-73. ISSN: 1553-9873.
Okorondu,S.I., Mepba, H.D.,
Okorondu, M.M.O., and Aririatu, L.E. 2010.
Antibacterial
properties of Musa paradisiacal peel extract. J. of Current Trends in
Microbiology 6: 21 – 26.
Pelczar,
M.J. & E.C.S. Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. Penerjemah:
Ratna
Siri Hadioetomo dkk. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 115 hlm
Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jilid 1.
Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Pelczar
M.J, dan E.C.S. Chan. 2007. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerjemah
Hadioetomo
RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, Terjemahan dari: Elements of Microbiology.
UI-Press. Jakarta.
Pendit, PAC., E.Zubaidah, F.H. Sriherfyna. 2016. Karakteristik
Fisik-Kimia dan
Aktivitas Antibakteri Esktrak Daun
Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.).
Jurnal Pangan dan Agroindustri. 4(1): 400-409
Poeloengan,
Masniari, Andriani, Susan N.M., 2007. Uji Daya Antibakteri Ekstrak
Etanol
Kulit Batang Bungur (Langerstoremia speciosa Pers.) Terhadap
Staphylococcus
aureus dan
Eschericia coli Secara In Vitro. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteruner 2007. 776-782
Pradana,
Dedi., D. Suryanto, Y. Djayus., 2013. Uji Daya Hambat Ekstrak Kulit
Batang Rhizophora mucronata Terhadap
Pertumbuhan Bakteri
Aeromonas
hydrophila, Streptococcus
agalactiae Dan Jamur Saprolegnia sp. J. of Aquacoastmarine.
2(1): 78-92
Prasetyo,
B.F., Wientarsih, I., Prioseryanto, B.P., 2008. Aktivitas Sediaan Gel
Ekstrat Batang Pohon Pisang Ambon dalam Proses
Penyembuhan Luka Pada Mencit. Jurnal Veteriner. 11(2): 70-73
Prasetyo dan Inoriah, E., 2013.
Pengolahan Budidaya Tanaman dan
Obat-Obatan
(Bahan Simplisia).
Badan Penerbitan Fakuktas Pertanian. Universitas Bengkulu. Bengkulu. pp 16-19.
Pratiwi S.T. 2008. Mikrobiologi
Farmasi. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Priosoeryanto, B. P., H. Huminto., I.
Wientarsih dan S. Estuningsih. 2006.
Aktifitas Getah
Batang Pohon Pisang dalam Proses Persembuhan Luka dan Efek Kosmetiknya Pada
Hewan. http://repository.ipb.ac.id. Diakses pada
23 November 2016.
Rahardjo
A.H.D., Santoso B.S., 2005. Kajian terhadap Kualitas Karkas Broiler
Yang
Disimpan pada Suhu Kamar Setelah Perlakuan Pengukusan. Jurnal Administrasi
Publik. 7:1-5.
Rashaf, M. 2000. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rosana, I.R., 2015. Aktivitas
Antibakteri Jamu “Empot Super” Terhadap Bakteri
Stphylococcus aureus dan Echerichia coli. (Skripsi). UIN Maulana
Malik
Ibrahim. Malang.
110 hlm.
Saraswati, F.N., 2015. Uji AKtivitas
Antibakteri Ekstrak Etanol 96% Limbah
Kulit Pisang
Kepok (Musa Balbisiana) terhadap Bakteri Penyebab Jerawat (Staphylococcus epidermidis,
Staphylococcus aureus, dan Propionibacterium acne). (Skripsi). UIN
Syarif Hidayatullah. Jakarta. 67 hlm.
Sasmita, Y., I.G. Suarjana.,
dan M.D. Rudyanto. 2014. Cemaran Escherichia
Coli
pada Daging Broiler yang Disimpan di Showcase di Swalayan
di Denpasar. J.of Indonesia Medicus
Veterinus 3(1): 68-72
Snyder,
C. R., J. J. Kirkland, and J. L. Glajach. 1997. Practical HPLC Method
Development,
Second Edition. John Wiley and Sons, Lnc. New York. Pp.
722-723.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada
University Press.
Yogyakarta.
Soesilo,
Slamet, Drs. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Departemen
Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta.
Songer,
J.G., and Post, K W. 2005. Microbiology
Bacterial and Fungal Agent of
Animal Disease. Elsevier
Saunders. Philadelphia.
Sumathy, V., S. J. Lachumy., Z.
Zakaria and S. Sasidharan. 2011. In
Vitro
Bioactivity
and Phytochemical Screening of Musa
acuminata Flower. J. of Pharmacology online. 2: 118-127.
Suprijatna, E., Umiyati, dan
Ruhyut. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas.
Penebar
Swadaya.
Jakarta.
Susanto, Edi. 2014. Standar
Penanganan Pasca Panen Daging Segar. Jurnal
Ternak. 5(1):
15-20.
Sutton, S. 2011. Measurement of
Microbial Cells by Optical Density. J. of
Validation Technology. XVII (I):
46-49.
Suyanti,
dan Ahmad Supriyadi. 2008. Pisang
Budidaya, Pengolahan dan Prospek
Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta. 124 hlm.
Tjitrosoepomo, Gembong. 1985. Morfologi Tumbuhan. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Tiwari,
P. Kumar, B. Kaur, M. Kaur, G. Kaur, H. 2011. Phytochemical screening
and Extraction: A Review. J.
of Internationale Pharmaceutica Sciencia. 1(1): 98-106
Usmiati S. 2010. Pengawetan daging segar
dan olahan. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan
Pascapanen Pertanian, Bogor. Jurnal Teknologi Sains.
9(3):46-51.
Windiyartono, A., Rr Rianti dan Veronica
Wannietie. 2016. Efektivitas Tepung
Bunga Kecombrang
(Nicolaia Speciosa Horan) sebagai Pengawet
terhadap Aspek Kimia Daging Ayam Broiler. Jurnal Ilmiah Peternakan
Terpadu. 4(1): 19-23
Winn
Jr, Washington C. 2006. Koneman’s Color
Atlas and Textbook of
Diagnostic Microbiology,
6th ed.
Lippincott Williams & Wilkins. USA. p
251-259.