Cara
Pengujian Uji Sensori Teh
A.
Pengujian Terbuka
Pengujiaan
bertujuan untuk menentukan profil sensoris dari minuman teh. Penentuan profil
inderawi mencakup penentuan dan diskripsi secara kualitatif dan kuantitatif.
Diskripsi kualitatif yaitu penentuan sifat-sifat inderawi yang terdapat di
dalam produk sedangkan diskripsi kuantitatif yaitu besarnya intensitas sifat-sifat
yang dimaksud. Dengan diketahuinya profil inderawi suatu produk maka dapat
diketahui sifat inderawi yang dominan sehingga dapat dikendalikan selama
pengolahan.
Metode
pada percobaan dilakukan secara terbuka sehingga selama pengujian dilakukan
diskusi antara semua penelis yang dipimpin oleh seorang panelis leader
untuk
menyamakan persepsi dan memperoleh kesepakatan tentang atribut sensoris
yang
bersangkutan dengan nilainya. Panelis dan koordinator (panel leader) duduk
menghadap
satu meja dan bersama-sama menilai sampel satu per satu dipandu oleh
coordinator.
Hal
pertama yang dilakukan panelis setelah disajikan sampel beserta perlengkapan (tisu,
sendok, dan borang) adalah pengisian indentitas pada borang dan dilanjutkan
dengan pembacaan instruksi yang tertulis dalam borang, dan keterangan sampel
yang tersaji. Selanjutnya dilakukan diskusi untuk menentukan
atribut
sensoris yang ada dalam minuman teh. Selama pengujian panelis dibimbing oleh
penyelenggara/ koordinator sehingga panelis dapat dengan baik melakukan
pengujian ini. Koordinator membantu jalannya diskusi sehingga kesepakatan
atribut tekstur yang terdapat pada sampel dapat diperoleh. Pengujian ini
bertujuan untuk menyeragamkan persepsi atribut flavor yang ada pada sampel yang
digunakan dalam uji tertutup selanjutnya yaitu minuman teh. Pengujian terbuka
dilakukan karena pada pengujian kuantitatif memerlukan standar sebagai
pembanding intensitas atribut tekstur. Standar bukan sebagai produk tetapi
memerlukan daftar nama produk serta urutan intensitas atribut teksturnya.
Daftar produk tersebut dibuat dari pengujian terbuka.
Pada
pengujian ini disediakan 7 gelas sloki yang berisi minuman teh dan minuman dari
ekstrak daun jambu. Sampel tersebut tersebut berkode I, II, III, IV,
V,
A, dan B.
Penilaian
dimulai dari minuman teh berkode I. Minuman teh berkode I memiliki parameter
sensoris sepat dan pahit. Seluruh parameter ini didiskusikan dan disetujui oleh
semua panelis. Teh tersebut dikenal sebagai teh hijau. Minuman teh dengan kode
II disepakati memiliki parameter sensoris sepat dan pahit. Rasa sepat lebih
dominan pada minuman teh tersebut. Teh tersebut diketahui sebagai jenis teh
hitam. Minuman teh dengan kode III disepakati memiliki parameter sensoris pahit,
sepat, dan wangi vanili. Minuman teh dengan kode IV juga memiliki parameter
sensoris sepet, pahit dan wangi melati. Teh tersebut dikenal sebagai teh
wangi.
Sampel dengan kode V hanya memiliki parameter sensoris sepat karena minuman/
larutan tersebut bukan minuman teh, namun berupa minuman dengan
ekstrak
daun jambu. Estrak daun jambu tidak memiliki rasa pahit seperti yang terdapat
pada teh.
Minuman
teh dengan kode B memiliki parameter sensoris wangi, manis, dan sepet, demikian
pula dengan minuman A. Rasa manis pada minuman A dan B disebabkan karena
penambahan gula. Timbulnya aroma pada teh hitam (pada sampel II dan B) langsung
atau tak langsung selalu dihubungkan dengan terjadinya oksidasi senyawa
polifenol. Penyelidikan yang intensif terhadap aroma telah dilakukan oleh para
peneliti Jepang yang menggolongkan aroma dalam 4 kelompok, yaitu: fraksi
karboksilat, fraksi fenolat, fraksi karbonil,dan fraksi netral bebas karbonil
(sebagian besar terdiri atas alkohol) (Kustamiyati, 1994). Selain itu
penyelidikan lain berusaha mencari asal aroma tersebut dalam daun teh segar.
Pendapat tertua mengatakan aroma berasal dari glikosida yang mengurai menjadi
gula sederhana dan senyawa beraroma. Yang lain menyebutkan bahwa timbulnya
aroma adalah akibat penguraian protein, adanya minyak essensial yang mudah
menguap yang selama pengolahan akan membentuk substansi aromatis baru yang
lain. Pendapat yang lain mengatakan bahwa aroma berasal dari oksidasi karotenoid
yang menghasilkan senyawa mudah menguap
(aldehid
dan keton tidak jenuh) (Kustamiyati, 1994).
Menurut
Harler (1963), zat padat terlarut total merupakan jumlah semua zat padat dalam
pelarut (air). Selama diekstraksi kandungan bahan-bahan yang dapat larut dalam
air teh hijau menggambarkan kepekatan dan rasa dari seduhan teh hijau.
Terbentuknya warna, rasa, dan kepekatan tergantung dari besarnya kandungan dan
sifat bahan yang larut dalam teh hijau, ukuran partikel, suhu, serta air yang
digunakan. Menurut Harler (1963), penyusun utama zat padat terlarut adalah
senyawasenyawa tanin dan kafein. Dalam daun muda kandungan senyawa ini besar sedangkan
pada pucuk yang tua yang merupakan bahan dasar teh hijau kandungannya akan
menurun. Pada hasil teh kering pada teh hitam kandungan tanin yang larut rendah
karena selama fermentasi terjadi perubahan menjadi theaflavin dan thearubigin.
Pembuatan teh hijau tidak melewati tahap fermentasi sehingga selama pengolahan
tanin tidak banyak mengalami perubahan sehingga kandungan taninnya relatif
lebih tinggi. Hal ini menyebabkan teh hijau lebih pahit dan sepet dibandingkan
dengan teh hitam. Teh hijau ini terdapat pada sampel berkode I.
Senyawa
tanin akan menyebabkan rasa teh menjadi sepet dan kafein akan menyebabkan teh
menjadi memiliki rasa pahit baik pada teh hitam mau pun teh hijau. Kafein akan
bereaksi dengan katekin atau hasil oksidasinya membentuk senyawa yang
menentukan brightness dari seduhan teh. Substansi kimia yang paling banyak
terdapat dalam teh yaitu fenol. Fenol tersebut terdiri dari tanin/catechin dan
flavonol.
1.
Tanin/catechin
Senyawa
ini merupakan senyawa yang paling penting pada daun teh. Nama tanin telah
dipakai sejak bertahun-tahun yang lalu sebab diketahui merupakan turunan dari
asam galat. Kebanyakan turunan galat disebut tanin karena bersifat dapat
menyamak kulit. Oleh karena tanin di dalam teh tidak mempunyai sifat tersebut,
maka pada saat sekarang nama tanin lebih tepat apabila diganti dengan catechin,
yang merupakan senyawa yang sangat komplek. Jumlah total bahan ini bukan
merupakan ukuran kualitas teh, melainkan hanya beberapa fraksi saja. Catechin
tersusun sebagian besar atas senyawa-senyawa sebagai berikut: Catechin,
Epicatechin, Epicatechin galat, Epigalo catechin, Epigalo catechin galat, Galo
catechin. Kandungan catechin berkisar 20-30% dari seluruh berat kering daun.
Diantara keenam catechin tersebut epigalo catechin dan galat merupakan bahan
terbanyak.
2.
Flavanol
Rumus
kimia flavanol hampir serupa dengan catechin tetapi berbeda pada tingkatan
oksidasi dari inti difenilpropan primernya. Flavanol dalam teh kurang disebut
sebagai penentu dalam kualitas, tetapi diketahui mempunyai aktivitas sebagai
vitamin P. Vitamin ini menguatkan dinding pembuluh darah kapiler dan memacu
pengumpulan vitamin C dalam organ binatang. Flavanol pada teh meliputi
kaemferol, quercetin, dan miricetin (Kustamiyati, 1994). Timbulnya aroma pada
teh hitam langsung atau tak langsung selalu dihubungkan dengan terjadinya
oksidasi senyawa polifenol. Pendapat tertua mengatakan aroma berasal dari
glikosida yang mengurai
menjadi
gula sederhana dan senyawa beraroma. Yang lain menyebutkan bahwa timbulnya
aroma adalah akibat penguraian protein, adanya minyak essensial yang mudah
menguap yang selama pengolahan akan membentuk substansi aromatis baru yang
lain. Pendapat yang lain mengatakan bahwa aroma berasal dari oksidasi karotenoid
yang menghasilkan senyawa mudah menguap (aldehid dan keton tidak
jenuh)
(Kustamiyati, 1994).
B.
Pengujian Tertutup
Pengujian
dilakukan secara tertutup yang berarti pengujian sampel dilakukan terpisah
antara panelis satu dengan yang lain dalam booth yang tersedia. Hal ini
bertujuan agar panelis tidak mendiskusikan hasil penilaiannya satu sama lain
apa pun hasilnya. Bila hal ini terjadi maka kemungkinan terjadi eror
(penyimpanan yang terjadi selama pengujian) yang disebut expectation error.
Pengujian ini digunakan metode scoring terstruktur yaitu panelis diminta untuk
menilai penampilan sampel berdasarkan intensitas atribut atau sifat yang dinilai
berdasarkan skala sampel yang disediakan. Panelis harus paham benar akan sifat
sensoris yang diperkenalkan pada pengujian terbuka yang telah dilakukan dengan panel
leader. Panelis yang digunakan dalam pengujian ini adalah panelis terlatih
karena diperlukan memori yang kuat. Semua panelis dalam pengujian ini
diasumsikan sebagai panelis terlatih.
Hal
pertama yang dilakukan panelis setelah disajikan sampel beserta perlengkapan
(tisu, sendok, dan borang) adalah pengisian indentitas pada borang dan
dilanjutkan dengan pembacaan instruksi yang tertulis dalam borang, keterangan
sampel yang tersaji, dan cara penilaian yaitu calon panelis diminta untuk
memberikan nilai intensitas dengan memberikan tanda silang pada skala. Nilai 1
untuk intensitas terrendah dan nilai 7 menunjukkan intensitas tertinggi. Dalam
pengujian ini panelis harus memahami cara penilaian/ pengujian yang sedang
dilakukan. Bila panelis mengalami kesulitan untuk memahami pengujian maka
panelis berhak bertanya kepada preparator. Panelis yang tidak membaca borang kemungkinan
akan melakukan pengujian dan penilaian sampel dengan cara yang salah sehingga
hasil yang diperoleh tidak memiliki presisi yang tinggi. Selanjutnya, panelis
melakukan pengecekan terhadap jumlah sampel dan pencatatan kode pada borang dan
dilanjutkan dengan pengujian. Pengujian terhadap sampel (minuman teh) dilakukan
dengan menilai flavor dari sampel tersebut.
Rasa
dari teh dapat dinilai dengan menggunakan indera pencecap. Umumnya bahan pangan
tidak hanya terdiri dari salah satu rasa tetapi merupakan gabungan berbagai
macam rasa secara terpadu sehingga menimbulkan rasa yang utuh. Kecuali itu rasa
suatu bahan pangan merupakan hasil kerjasama inderaindera yang lain (Bambang
K.et.al., 1988). Dalam mengindera rasa larutan sampel, panelis diharuskan untuk
merasakan dengan menggunakan indera pencecap, yaitu lidah. Untuk dapat
merasakan secara optimal, larutan dapat diratakan pada seluruh permukaan lidah.
Pada permukaan lidah terdapat sel-sel papilla yang didalamnya terdapat
kuncup-kuncup (bud) yang jika terangsang akan meneruskan rangsangan tersebut ke
otak sehingga timbul kesan rasa (Bambang K.et.al., 1988).
Mekanisme
terciptanya suatu kesan rasa dimulai dari zat makanan yang dilarutkan dalam
mulut oleh air liur kemudian larutan tersebut masuk dalam kuncup pencecap. Di
dalam kuncup pencecap terletak dalam suatu celah yang disebut pore, tempat
terkumpulnya cairan air liur (saliva). Setiap sel cecapan yang disebut dengan
sel gustatory, berbentuk lonjong dengan ujungnya berupa rambut-rambut microvillus
yang mencuat ke ruang pore. Agar suatu senyawa dikenal rasanya, senyawa
tersebut harus dapat larut dalam air liur sehingga dapat mengadakan hubungan
dengan microvillus dan impuls (stimulus) yang terbentuk dikirim melalui syaraf
ke pusat susunan syaraf dan timbullah kesan rasa (Winarno, 1992).
Perbedaan
persepsi antar panelis dalam hal nilai dan sifat-sifat sensoris sampel
kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1.
Kekurangpekaan panelis sehingga deskripsi mengenai sifat sensoris yang dinilai
kurang tepat.
2.
Kesalahan dalam melakukan pengujian
3.
Kondisi kesehatan
Panelis
yang sedang tidak sehat, terutama yang sedang mengalamin gangguan pada indera
pencecap atau perasa, misal flu, mempunyai sensitivitas yang rendah terhadap
rasa.
4.
Pengetahuan panelis
Semakin
banyak pengetahuan panelis tentang sifat-sifat sensoris dari suatu bahan
semakin mudah panelis tersebut dalam mendeskripsikan sifat-sifat sensoris
sampel. (Bambang, dkk., 1988)
Profil
sensoris dapat dipakai untuk mengetahui sifat dominan yang mempengaruhi
kesukaan konsumen terhadap suatu produk. Dengan mengetahui sifat dominan inilah
kita dapat mengendalikan proses pengolahan dan menggunakan sifat ini sebagai
tolok ukur dalam membandingkan produk-produk sejenis di pasaran. Penentuan
profil sensoris dapat diaplikasikan pada industri. Industri yang memproduksi
bahan pangan harus memperhatikan hasil pengolahannya sehingga dapat diterima
oleh konsumen. Produk yang dihasilkan tersebut harus disesuaikan dengan
keinginan dan kebutuhan konsumen. Kesesuaian ini menyangkut sifatsifat bahan
yang merupakan karakteristik dari produk tesebut. Selain itu, pada suatu
industri, profil sensoris dapat digunakan dalam pengendalian kualitas.
Pengendalian dilakukan pada sifat yang paling mudah mengalami perubahan profil
sensoris. Misalnya pada industri sterilisasi susu. Yang perlu dikendalikan
adalah rasa “matang” yang terbentuk karena adanya reaksi Maillard antara
laktosa dengan asam-asam amino yang terdapat dalam susu tersebut. Selain itu,
dapat pula digunakan untuk product development. Untuk itu, perlu diperhatikan
parameter yang berbeda pada kedua produk, dan parameter itulah yang akan
dijadikan keunggulan masing-masing produk. Untuk aplikasi profil sensoris pada
industri ini, perlu dipertimbangkan kepentingan sifat-sifat yang perlu diuji,
dan pengujian dilakukan tidak sembarangan, untuk menghindari pemborosan waktu,
tenaga dan biaya. Setelah dilakukan analisis varian maka dapat dibuat diagram
sarang labalaba. Keunggulan diagram ini dibanding diagram yang lain adalah
diagram ini bisa menampilkan berbagai atribut sensoris pada beberapa sampel
sehingga perbedaan antara sampel lebih mudah diamati dan dibandingkan. Diagram
sarang laba-laba juga memudahkan penilaian produk dari beberapa atribut
sensoris yang dimiliki produk tersebut. Diagram sarang laba-laba berupa
titik-titik pada masing-masing atribut sensoris yang dihubungkan. Titik-titik
tersebut menunjukkan nilai atribut sensoris dari suatu produk. Semakin jauh
titik tersebut terhadap pusat maka nilainya semakin besar. Dalam satu atribut
sensoris misalnya kekerasan, semakin jauh jarak antar dua titik maka kedua
produk tersebut berbeda nyata. Titik-titik pada sarang laba-laba pada pangujian
ini menunjukkan nilai rata-rata teh wangi dan teh hitam dengan atribut sensoris
sepat, pahit,wangi, dan manis.
IV.
KESIMPULAN
1.
Untuk mengorganisir penentuan profil sensoris perlu memperhatikan kesamaan
persepsi antarpanelis, kesamaan cara penilaian, dan kesepakatan parameter-parameter
yang diuji.
DAFTAR
PUSTAKA
Kartika,
Bambang, dkk., 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. PAU
Pangan
dan Gizi UGM, Yogyakarta.
Winarno,
F.G., 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Utama, Jakarta.
Harler,
C.R., 1963. Tea Manufacture. Oxford University Pres.
Kustamiyati,
1994. Petunjuk Teknis Pengolahan Teh. Balai Penelitian Teh dan
Kina,
Gambung, Bandung.
Theodore,
R, 1972. Traditional Methods of Vanilla Preparation and Their
Improvement.
The Quarterly Journal of the Tropical Product Institute,
Volume 15, page
47-55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar